Bodoh atau Pandaikah Kita?

MALAM itu, panitia pengajian berwajah pucat pasi. Ustadz kondang yang diundangnya tak datang-datang. Namun, jamaah tetap bertahan menunggu. Acara sambutan yang dijadwalkan hanya ada satu, yakni dari ketua panitia, terpaksa ditambah menjadi empat sambutan demi memperpanjang waktu menunggu sang ustadz itu. Jamaah mulai curiga, suara bisik-bisik bercampur batuk kecil mulai ramai terdengar. Panitia benar-benar bingung dan terdiam membisu.

Bodoh atau Pandaikah Kita?
Ilustrasi/Net

MALAM itu, panitia pengajian berwajah pucat pasi. Ustadz kondang yang diundangnya tak datang-datang. Namun, jamaah tetap bertahan menunggu. Acara sambutan yang dijadwalkan hanya ada satu, yakni dari ketua panitia, terpaksa ditambah menjadi empat sambutan demi memperpanjang waktu menunggu sang ustadz itu. Jamaah mulai curiga, suara bisik-bisik bercampur batuk kecil mulai ramai terdengar. Panitia benar-benar bingung dan terdiam membisu.

Tiba-tiba, seorang kakek tua naik panggung. Wajahnya menunduk, jalannya pelan bertongkat kayu kuno berwarna hitam. Beliau memulai kalimatnya dengan salam dan kemudian melanjutkan kata: "Ketimbang diisi sambutan terus dan tak ada yang disambut, ijinkan saya bicara. Saya bukan penceramah dan tidak pernah naik panggung ceramah. Ada dorongan hati untuk bicara dan bertanya-tanya sebagai orang yang paling tua di kampung ini."

Semua hadirin terdiam karena baru kali inilah mereka mendengarkan kakek bicara. Selama ini beliau selalu diam dan bersahabat dengan kuburan, merawat kebersihan dan keasrian kuburan. Beliau bertanya: "Apakah layak disebut pandai orang yang menjual rumah demi membeli rumah-rumahan?" Hadirin kompak menjawab: "Tidaaaaaak." Kakek bertanya lagi: "Apakah layak disebut pintar orang yang menjual emas berliannya demi membeli kalung dan gelang imitasi?" Semua menjawab: "Tidaaak." "Satu pertanyaan lagi," sambung kakek, "apakah bisa disebut cerdas orang yang menjual semua hartanya demi pengalaman hidup mewah selama satu minggu saja di hotel termewah?" Lagi-lagi jamaah menjawab: "tidaaaak."

Baca Juga : Kebaikan Allah Saja Ia Ingkari Apalagi Kebaikanku

Kakek tersenyum dan berkesimpulan: "Itu adalah perbuatan orang-orang bodoh. Maka bodoh pula orang yang menjual akhiratnya demi kemewahan dunia, menggadaikan agama demi kenikmatan dunia yang sementara, rela menghalalkan segala cara yang penting menang dan kaya di dunia walau di akhirat harus masuk neraka."

Semua terkesima, terkesan dan kagum pada logila si kakek. Semua masih menunggu kalimat lanjutan kalimatnya. Si kakek masih diam membisu. Tiba-tiba si kakek berkata: "Sekian dari saya. Sekarang pulanglah, tak usah menunggu penceramah aslinya. Dia tidak akan tiba malam ini, karena suatu halangan. Karena itulah aku menggantikan posisinya, karena terpaksa. Wassalamu'alaikum Wr. Wb."

Kakekpun turun panggung. Jamaah puas mendapatkan intisari kehidupan. Namun, mendadak jamaah saling bertanya siapa sesungguhnya si kakek itu dan ada hubungan apa dengan penceramah kondang itu kok tahu sekali jadwal serta keadaan si ustadz itu. Namun kakek itu terus berjalan pulang dan membisu. Beruntunglah saya berkesempatan dibisikinya sehingga saya tahu sesuatu yang dipertanyakan para jamaah lainnya. Salam, AIM. [*]

Baca Juga : Ancaman Allah untuk Mereka yang Gemar Memberi tapi Ngarep Balasan Lebih


Editor : Bsafaat