Relawan Jokowi-Ma'ruf Dorong Pemerintah Konversi Bahan Bakar

Relawan Nasional Sahabat Rakyat Indonesia pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf mengadakan kegiatan Kongkow Kaum Muda bertajuk "Roadmap 50% Biosolar Nasional Menuju Kemandirian Ekono

Relawan Jokowi-Ma'ruf Dorong Pemerintah Konversi Bahan Bakar
INILAH, Bandung - Relawan Nasional Sahabat Rakyat Indonesia pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf mengadakan kegiatan Kongkow Kaum Muda bertajuk "Roadmap 50% Biosolar Nasional Menuju Kemandirian Ekonomi".
 
 
Anggota Tim Nasional Sahabat Rakyat Indonesia, Haerudin Nurman mengatakan, kegiatan ini merupakan satu diantara upaya pihaknya untuk terus mendorong keberhasilan pemerintah. Sebab di era pemerintahan Jokowi, dinilai mampu membawa Indonesia menjadi mandiri terutama dalam bidang energi.
 
 
"Kita akan terus mendorong Jokowi agar menjadi bangsa yang lebih mandiri," kata Haerudin di Posko Bersama Sahabat Rakyat Indonesia, Jalan Tamblong, Kota Bandung pada Minggu (3/2/2019) kemarin.
 
 
Mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI (KPPU), Syarkawi Rauf menyampaikan bahwa pihaknya terus mendorong pemerintah untuk melakukan konversi energi bahan bakar yang berasal dari fosil menjadi sumber energi baru seperti angin, sinar matahari dan arus laut.
 
 
Bahan bakar tersebut, dituturkan dia saat ini telah digunakan sebagai bahan bakar industri dan kendaraan bermotor. Hal itu, dilakukan guna memperbaiki defisit transaksi berjalan karena menurunnya impor migas sekaligus mengembangkan industri biodiesel dalam negeri. 
 
 
Artinya menurut dia, energi khusus kendaraan bermotor atau industri menggunakan bahan bakar dengan komposisi 50 persen biodiesel, dan 50 persen minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) yang lebih dikenal dengan istilah B50 bisa mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak yang setiap tahun dilakukan.
 
 
"Beberapa waktu lalu, pemerintah telah meluncurkan biodiesel 20 persen (B20) yang secara perlahan sudah bisa digunakan sebagai bahan bakar. Untuk itu ke depan, kita mendorong pemerintah agar tidak hanya sebatas B20 saja melainkan sampai B50," kata Syarkawi.
 
 
Sambung dia, produksi minyak bumi di setiap tahunnya terus mengalami menurun, sementara konsumsinya cenderung meningkat. Di lain sisi, permintaan konsumen di dalam negeri tetap tinggi. Kondisi inilah yang memicu ketimpangan sehingga pemerintah harus melakukan konversi sumber energi.
 
 
"Solusinya, kita harus mengkonversi sebagian kebutuhan BBM kita dari fosil ke Biodiesel," ucapnya.
 
 
Apabila pemerintah melakukan konversi minyak diesel menjadi bio solar, dia menilai ada beberapa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Hal pertama adalah akan memperkuat nilai tukar rupiah. Karena ketika melakukan impor, maka akan membutuhkan mata uang asing yang cukup banyak sehingga berdampak pada pelemahan rupiah terhadap Dollar AS.
 
 
"Setiap impor BBM punya kebutuhan valas yang tinggi. Sehingga ketika kita impor, maka nilai rupiah mengalami pelemahan terhadap US Dollar," ujar dia. 
 
 
Maka sekarang inilah dinilai dia, menjadi momentum tepat untuk mempercepat konversi dari minyak diesel menjadi bio solar. Sebabnya, harga sawit di dalam negeri maupun internasional tengah mengalami penurunan, sehingga butuh sumber permintaan yang baru seperti bio solar atau konversi B20 road to B50. 
 
 
"Jika dilakukan maka akan meningkatkan permintaan CPO yang akan berdampak pada kenaikan harga," ucapnya.
 
 
Keuntungn lainnya, dikatakan Syarkawi bahwa konversi dilakukan sebagai mengantisipasi trend yang berkembang di pasar dunia. Karena selama ini, pembeli kelapa sawit Indonesia yakni India, China dan eropa. 
 
 
Tetapi persoalannya, ketiga negara tersebut mengkategorikan CPO sebagai sumber energi tidak ramah lingkungan, sehingga pada 2030 ke tiga negara tersebut tak lagi mengimpor CPO. Otomatis, Indonesia harus mempersiapkan pasar yang baru.
 
 
"India juga memberlakukan bea masuk yang tinggi terhadap CPO. Ini juga menghambat kita masuk ke pasar India. Sedangkan China, ekonominya mengalami perlambatan dalam beberapa tahun terakhir sehingga kebutuhan CPOnya menurun," ujar dia.
 
 
Merujuk pada data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) hingga Oktober 2018,. Pasokan sawit nasional berada di kisaran 4,40 juta ton, sedangkan ekspor produk kelapa sawit dan turunannya pada Oktober 2018 mencapai 3,35 juta ton naik lima persen dibandingkan September 2018. 
 
 

Peningkatan ini, salah satunya didorong melonjaknya permintaan Tiongkok di tengah ketidakpastian ekonomi global. Meski dinilai sebagai produsen terbesar kelapa sawit di dunia, namun Indonesia dinilainya tidak bisa menetapkan harga minyak sawit di pasaran global.


Editor : inilahkoran