Ternyata Jilbab Wajib di Agama Yahudi & Nasrani

JILBAB rupanya tidak hanya diwajibkan dalam islam, tapi juga diwajibkan dalam agama yahudi dan Kristen, agama pendahulu yang kemudian disempurnakan Islam. Dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, terdapat beberapa istilah yang semakna dengan hijab sepertiti feret. Bila dalam taurat pun ada, berarti Jilbab diwajibkan di masa Nabi Musa.

Ternyata Jilbab Wajib di Agama Yahudi & Nasrani
Ilustrasi/Net

JILBAB rupanya tidak hanya diwajibkan dalam islam, tapi juga diwajibkan dalam agama yahudi dan Kristen, agama pendahulu yang kemudian disempurnakan Islam. Dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, terdapat beberapa istilah yang semakna dengan hijab sepertiti feret. Bila dalam taurat pun ada, berarti Jilbab diwajibkan di masa Nabi Musa.

"Apabila seorang wanita melanggar syariat Talmud, seperti keluar ke tengah-tengah masyarakat tanpa mengenakan kerudung atau berceloteh di jalan umum atau asyik mengobrol bersama laki-laki dari kelas apa pun, atau bersuara keras di rumahnya sehingga terdengar oleh tetangga-tetangganya, maka dalam keadaan seperti itu suaminya boleh menceraikannya tanpa membayar mahar padanya." ("Al Hijab", Abul A'la Maududi, h. 6).

Seorang pemuka agama Yahudi, Rabbi Dr. Menachem M. Brayer, Professor Literatur Injil pada Universitas Yeshiva dalam bukunya, The Jewish woman in Rabbinic Literature, menulis bahwa baju bagi wanita Yahudi saat bepergian keluar rumah yaitu mengenakan penutup kepala yang terkadang bahkan harus menutup hampir seluruh muka dan hanya meninggalkan sebelah mata saja. "Bukanlah layaknya anak-anak perempuan Israel yang berjalan keluar tanpa penutup kepala" dan "Terkutuklah laki-laki yang membiarkan rambut istrinya terlihat," dan "Wanita yang membiarkan rambutnya terbuka untuk berdandan membawa kemelaratan." (Sabda Langit Perempuan dalam Tradisi Islam, Yahudi, dan Kristen, Sherif Abdel Azeem, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), cet. Ke-2, h.74).

Baca Juga : Akhlak Mulia, Bagian Asasi Dakwah Rasulullah

Kerudung juga menyimbolkan kondisi yang membedakan status dan kemewahan yang dimiliki wanita yang mengenakkannya. Kerudung kepala menandakan martabat dan keagungan seorang wanita bangsawan Yahudi. Oleh karena itu di masyarakat Yahudi kuno, pelacur-pelacur tidak diperbolehkan menutup kepalanya. Tetapi pelacur-pelacur sering memakai penutup kepala agar mereka lebih dihormati (S.W.Schneider, 1984, hal 237).

Wanita-wanita Yahudi di Eropa menggunakan kerudung sampai abad ke 19 hingga mereka bercampur baur dengan budaya sekuler. Jilbab yang dipakai oleh kaum wanita Yahudi bukan saja sebagai syariat yang harus ditaati, namun juga sebagai lambang kemewahan, kewibawaan, dan mahalnya harga wanita yang suci, serta menunjukkan status sosial yang terhormat. Hal ini ditegaskan oleh Menachem M. Brayer bahwa jilbab wanita Yahudi tidak selamanya dianggap sebagai tanda kesederhanaan atau kerendahan hati, melainkan juga simbol keistimewaan dan kemewahan, kewibawaan dan superioritas wanita bangsawan, serta menggambarkan mahalnya harga wanita sebagai milik suami yang suci, di samping sebagai harga diri dan status sosial seorang wanita. (ibid, h. 75).

Demikian pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani (Kristen dan Katolik) juga ditemukan istilah semakna. Misalnya istilah zammah, realah, zaif dan mitpahat. Lagi lagi membuktikan bahwa menutup aurat adalah sesuatu yang diwajibkan pada Masa Nabi Isa. Sayangnya, penggunaan Jilbab dan segala bentuk penutup kepala hanya dilanjutkan para wanita Islam, dan tidak lagi dikenakan oleh para wanita Yahudi dan Kristen.

Baca Juga : Akhlak Baik dari Hati yang Baik

Hingga saat ini para Biarawati Katolik menutup kepalanya secara keseluruhan (termasuk Bunda Theresa, panutan biarawati Modern). Di Indonesia sebelum tahun 80-an pakaian biarawati adalah jilbab, pakaian panjang longgar dari leher hingga menutup kaki serta berkerudung yang menutup leher dan dada (masih ingat telenovela Brazil, Dolcemaria?).

Halaman :


Editor : Bsafaat