BI Lindungi Sistem Pembayaran Konsumen
Di era ekonomi digital saat ini, Bank Indonesia (BI) memberikan perlindungan konsumen lebih ekstra. Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Jabar Doni P Joewono menyebutkan, pihaknya memberika

INILAH, Bandung - Di era ekonomi digital saat ini, Bank Indonesia (BI) memberikan perlindungan konsumen lebih ekstra. Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Jabar Doni P Joewono menyebutkan, pihaknya memberikan dua bentuk perlindungan konsumen.
“Dua perlindungan itu yakni menggunakan PIN (personal identification number) dan chip NSICCS (National Standard Indonesian Chip Card Specification),” kata Doni saat seminar Perlindungan Konsumen di Era Ekonomi Digital di KPwBI Jabar, Senin (18/3/2019).
Menurutnya, perlindungan itu diterapkan sebelum sesuatu terjadi terhadap konsumen terkait sistem pembayaran. Sebelumnya, saat pemakaian kartu kredit hanya mengandalkan tanda tangan itu pembobolan kerap terjadi. Kini, dengan enam digit PIN dapat menekan angka kerugian konsumen.
Meski demikian, dia mengakui perubahan sistem dari empat ke enam digit PIN itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sebenarnya, BI mewajibkan penggunakan enam digit PIN itu sejak 2015 lalu.
“Sampai 2020, tidak ada lagi transaksi kartu kredit yang menggunakan tanda tangan. Tapi, harus memakai enam digit PIN,” tegasnya.
Bentuk perlindungan kedua yakni penerapan NSICCS. Doni mengatakan, penerapan chip itu pun nantinya akan digunakan pada kartu kredit. Sejauh ini, penerapannya hanya pada kartu ATM/Debit yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan bertransaksi. Nantinya, kata dia, penerapan chip itu pun akan digunakan pada kartu kredit.
“Penerapan NSICCS itu sebagai upaya untuk meningkatkan keamanan bertransaksi alat pembayaran menggunakan kartu (APMK). Seperti halnya uang tunai yang memilki 12 security, nantinya sistem pembayaran menggunakan kartu juga kita amankan,” ujarnya.
Doni menjelaskan, jumlah pengaduan sepanjang 2018 yang ditangani KPwBI Jabar mencapai 91 aduan. Jumlahpengaduan tersebut meningkat lebih dari 100% dibandingkan dengan pengaduan pada 2017 yang terhitung 33 aduan.
Pengaduan konsumen sistem pembayaran itu didominasi permasalahan kartu kredit. Angkanya mencapai 39 pengaduan atau 43%. Disusul kemudian, kartu ATM/debet sebanyak 4 pengaduan (4%), dan transfer dana sebanyak 4 pengaduan (4%), serta pengaduan di luar kewenangan BI terkait pinjaman (20%) dan lainnya (29%).
“Dalam menggunakan instrumen pembayaran nontunai, kita juga perlu memahami adanya risiko. Seperti, penyalahgunaan kartu, fraud data palsu atau pencurian data konsumen. Beberapa modus operandi yang sedang berkembang saat ini perlu kita waspadai,” tuturnya.
Dia menambahkan, ada tips mudah yang bisa dilakukan setiap konsumen saat bertaransaksi menggunakan kartu kredit. Masyarakat sebagai konsumen sebaiknya menutup tiga nomor terakhir pada kartu kredit saat bertransaksi. Pasalnya, ketiga nomor itu bisa membobol atau ditembus melalui internet banking.
“Selain itu, kita informasikan bahwa payment P2P lending fintech yang terdaftar di BI itu sejauh ini ada 54 lembaga. Di luar itu, berarti tidak tedaftar dan illegal. Ke-54 lembaga itu bisa dilihat di situs resmi BI,” sebutnya.
Lebih jauh Doni menegaskan terkait kewenangan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di bidang fintech. Khusus untuk teknologi finansial, ruang lingkup perlindungan konsumen BI yakni penyelenggara yang bergerak di bidang payment, clearing, dan settlement. Cakupan perlindungan konsumen itu PBI No. 16/1/PBI/2014.
Sedangkan, kewenangan perlindungan OJK yakni penyelenggara yang bergerak di bidang deposit, lending, capital raising, dan investment. Cakupan perlindungan konsumen yang dilakukan OJK itu sesuai POJK No.1/POJK.07/2013. Termasuk, kewenangan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK).
“Dulu SLIK dikenal dengan Sistem Informasi Debitur (SID) atau BI Checking. Tapi, sejak 1 Januari 2018 pengelolaanya beralih dari yang awalnya dikelola BI kini dikelola OJK,” ujarnya seraya menyebutkan seminar yang dilakukan itu dalam rangkaian mendukung Hari Konsumen Nasional (Harkonas) yang jatuh setiap 20 April.
Secara terpisah, Ketua Umum Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) Jabar Banten Jakarta Firman Turmantara mengungkapkan refleksi implementasi Hari Konsumen Sedunia untuk Indonesia. Menurutnya, untuk melindungi konsumen itu negara wajib memperbaiki sejumlah hal.
Di antaranya terkait peraturan perundang-undangan terkait perlindungan konsumen, fasilitas sarana dan prasarana, kualitas aparat dan sumber daya manusia, budaya perlindungan konsumen, pelaku usaha, maupun pemerintah, serta minimnya sosialisasi kepada masyarakat.
“Sesuai dengan amanat konstitusi, negara wajib hadir untuk melindumgi dan menyejahterakan rakyat. Rakyat adalah konsumen termasuk pelaku usaha. Konsumen adalah kekuatan besar bagi suatu negara dalam membangun perekonomian. Melihat kondisi saat ini, terus terang saya sangat tidak puas karena negara yang seharusnya melindungi konsumen ternyata tidak hadir,” ucap Firman.