Fesyen berkelanjutan, sungguhan atau jebakan?

Dalam industri fesyen percakapan seputar keberlanjutan dan "ramah lingkungan" telah menjadi topik andalan selama beberapa tahun belakangan.

Fesyen berkelanjutan, sungguhan atau jebakan?
istimewa

INILAH, Bandung-Dalam industri fesyen percakapan seputar keberlanjutan dan "ramah lingkungan" telah menjadi topik andalan selama beberapa tahun belakangan.

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa industri fesyen adalah pihak dengan persentase terbesar yang paling bertanggung jawab dari emisi karbon di seluruh dunia.

Pelaku utamanya adalah fesyen cepat atau fast fashion yang pada umumnya didirikan dengan menggunakan bahan-bahan murah, tidak ramah lingkungan dan membayar upah pekerja dengan sangat rendah.

Dalam dua tahun terakhir, ketika dunia hidup dalam pandemi, percakapan ini semakin menonjol. Gen-Z dan pembeli milenial khususnya sangat sadar akan masalah lingkungan yang dihasilkan oleh fashion dan menuntut jawaban. Ini adalah komunitas yang lebih muda, pembeli mode cepat terbesar, yang sekarang mendorong evolusi.

Data yang dihimpun dari perusahaan riset independen Morningstar mencatat bahwa sebagian besar investor fesyen kini cenderung menggelontorkan dana mereka pada industri fesyen dengan label "ramah lingkungan dan berkelanjutan".

Perusahaan investasi yang cukup banyak menggelontorkan dana dalam industri fesyen, Closed Loop, turut buka suara mengenai alasan mereka kini memilih label ramah lingkungan dan keberlanjutan dalam proyek-proyeknya.

“Investor ingin tahu apa solusi yang layak yang akan dikerjakan oleh pengecer global. Itulah jenis sinyal pasar yang akan diperhatikan oleh investor,” kata Kate Daly selaku Direktur Pelaksana Closed Loop Partners’ Center kepada Circular Economy seperti dikutip dari Vogue Business.

"Jika mereka terus berinvestasi dalam solusi linier biasa, itu bisa menjadi ketinggalan zaman, mungkin tidak besok tetapi dalam beberapa tahun mendatang,” tambah Daly.

Direktur Closed Loop sekaligus mantan CEO rumah mode Dona Karan, Caroline Brown mengatakan bahwa pihaknya saat ini sedang berada pada titik kritis dalam industri mode yang kini didorong oleh aktivitas pemegang saham, permintaan konsumen, tekanan peraturan, dan risiko iklim yang meningkat.

"Semuanya mendorong menuju perubahan yang berkelanjutan. Ini menciptakan peluang investasi yang kuat di seluruh nilai rantai industri," kata Brown.

Melihat tingginya permintaan konsumen Gen Z dan milenial serta dana investor yang besar pada "keberlanjutan dan ramah lingkungan", industri fesyen cepat dan kecantikan pun kini berlomba-lomba menggunakan label ramah lingkungan pada produk-produk mereka.

Laman Bussiness Times kemudian menyebut ini sebagai salah satu risiko material di balik meningkatnya jumlah dana menggiurkan dalam balutan "ramah lingkungan", yang kemudian memunculkan istilah strategi "greenwashing".



"Greenwashing"

Greenwashing pada akhirnya didefinisikan sebagai strategi komunikasi atau pemasaran satu perusahaan (dalam hal ini industri fashion) untuk memberikan citra yang ramah lingkungan, baik dari segi produk, nilai, maupun tujuan perusahaan tanpa benar-benar melakukan kegiatan yang berdampak bagi kelestarian lingkungan.

John Ng, kepala seleksi dan penasihat dana, DBS Private Bank, mendefinisikan greenwashing sebagai representasi keliru yang mencoba memanfaatkan meningkatnya minat pada produk atau layanan ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Aktivis iklim Greta Thunberg dalam wawancaranya baru-baru ini dengan majalah gaya dan budaya terkemuka, menyebut perusahaan mode cepat atau fast fashion menggunakan strategi "greenwashing" untuk mengambil simpati para konsumen.

Dalam sebuah unggahan di media sosial Instagram, Thunberg menampilkan foto dirinya untuk sampul edisi pertama Vogue Scandinavia. Dalam keterangan unggahan tersebut Thunberg berbicara tentang kontradiksi antara mode produksi massal dan fesyen keberlanjutan.

“Banyak yang membuat seolah-olah industri fesyen mulai mengambil tanggung jawab, dengan menghabiskan jumlah fantasi pada kampanye di mana mereka menggambarkan diri mereka sebagai 'berkelanjutan', 'etis', 'hijau', 'netral iklim' dan 'adil',” tulis Thunberg.

"Tapi mari kita perjelas, hampir tidak pernah sungguh-sungguh ada (ramah lingkungan) selain murni 'greenwashing'. Anda tidak dapat memproduksi fesyen secara massal atau mengkonsumsi produk berkelanjutan karena dunia (fesyen) saat ini dibentuk tidak benar-benar untuk itu. Itulah salah satu dari banyak alasan mengapa kita membutuhkan perubahan sistem.”

Thunberg kemudian menjelaskan bahwa industri fesyen adalah penyumbang besar terjadinya keadaan darurat iklim dan ekologi, mengingat besarnya dampak industri fesyen cepat tidak hanya besarnya limbah yang disebabkan namun juga terhadap pekerja dan komunitas yang dieskploitasi.

"Hanya agar beberapa orang dapat menikmati mode cepat, dan mereka hanya memperlakukan mode ini untuk sekali pakai saja," ujar Thunberg.

Nyata berkelanjutan

Mengejar gaya fesyen berkelanjutan bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti membeli produk preloved (produk yang dibeli dan hanya dipakai beberapa kali atau bahkan belum pernah dipakai oleh pemilik sebelumnya, kemudian dijual kembali dengan harga murah). Selain itu bisa juga membeli dan menggunakan produk daur ulang atau barang bekas lain yang masih layak pakai.

Filosofi di balik masing-masing gaya berbelanja di atas adalah sama, untuk mempromosikan fesyen yang sadar lingkungan. Ide ini pada dasarnya terkait dengan "berkelanjutan", yaitu untuk secara konsisten membeli barang-barang yang tidak akan berakhir di belakang lemari atau lebih buruk lagi malah dibuang.

Beberapa orang yang disebut "pecinta lingkungan garis keras" bahkan memilih untuk tidak membeli pakaian baru selama pakaian yang diperlukan masih pantas dan layak pakai.

Seiring dengan perubahan kesadaran konsumen akan fesyen yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, munculah label dan bisnis baru yang mendorong ruang untuk terlibat dengan gagasan ini. Perusahaan semacam itu memberdayakan pembeli muda untuk berinvestasi untuk barang-barang yang diprediksi akan mendukung sistem berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Sistem ini dikenal dengan sebutan layanan sewa busana yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan waktu pemakaian. Dengan begitu para pecinta fesyen tetap dapat bergaya dengan banyak pilihan busana, namun tidak menumpuk aneka produk fesyen di dalam lemari.

“Orang-orang muda menjadi sadar akan fakta bahwa ada terlalu banyak mode yang sudah beredar, dan masuk akal untuk menerapkan prinsip-prinsip ekonomi berbagi yang sama ke lemari pakaian kita juga,” kata Eshita Kabra-Davies, CEO dan pendiri By Rotation, aplikasi persewaan busana seperti dikutip dari Vogue India. Pengusaha yang berbasis di London ini memutuskan untuk mendirikan layanan sewa busana setelah menyaksikan langsung dampak limbah tekstil terhadap lingkungan di Rajasthan, India.

"Ini adalah kebenaran yang menyedihkan bahwa kita menggunakan mode untuk ekspresi diri, namun memiliki efek berbahaya yang membuat planet kita tidak dapat dihuni," kata Kabra-Davies.

Kabra-Davies menyarankan para pecinta fesyen untuk bisa memilih pakaian yang tak lekang oleh waktu dan belajar untuk mencintai dan mengandalkan barang-barang yang ada di lemari. Dia juga menyarankan menabung untuk barang-barang dengan kualitas lebih tinggi daripada yang setara dengan mode cepat.

Membeli barang-barang fesyen yang ramah lingkungan tidak selalu menjadi pilihan yang paling hemat biaya, tetapi laporan terbaru oleh Bloomberg mengungkapkan bahwa gen-Z adalah yang paling bersedia membayar harga premium untuk kaos yang berlabel berkelanjutan, menunjukkan bahwa keberlanjutan dapat menjadi prioritas.

Namun tidak ada salahnya untuk kembali memeriksa, apakah produk yang Anda beli sungguh-sungguh berkelanjutan dan ramah lingkungan, ataukah itu hanya kedok belaka. Kalaupun produk itu sungguh-sungguh ramah lingkungan, periksalah kembali apakah tindakan Anda didorong akan kebutuhan yang mendukung sistem berkelanjutan, atau hanya hasrat konsumtif semata.


Editor : JakaPermana