Hati Bersih, Pribadi Saleh

SAUDARAKU, salah satu ciri pribadi shalih adalah ia senantiasa disiplin dan istiqamah menjaga kebeningan hatinya. Karena kebeningan hati adalah inti dari semua amal. 

Hati Bersih, Pribadi Saleh
Kh. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym)
SAUDARAKU, salah satu ciri pribadi shalih adalah ia senantiasa disiplin dan istiqamah menjaga kebeningan hatinya. Karena kebeningan hati adalah inti dari semua amal. 
 
Rasulullah saw bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, dan jika segumpal daging itu buruk, maka buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
 
Keshalihan kita sebagai seorang hamba di hadapan Allah berawal dari kondisi hati. Manakala bersih hati kita, bersihlah ucapan dan amal perbuatan kita. Ketika lurus hati ini, maka lurus pula tindak-tanduk kita. Namun jika kotor hati ini, maka kotor pula ucapan dan perbuatan kita. Rusaknya hati adalah pangkal dari rusaknya akhlak. Demikianlah pentingnya peran hati.
 
Akhlak yang baik bersumber dari hati yang baik. Hati yang bersih akan memancarkan akhlak mulia. Seperti teko, ia hanya mengeluarkan isi teko. Jika di dalamnya kopi, maka akan keluar kopi. Jika di dalamnya susu, maka akan keluar susu. Dan jika di dalamnya air comberan, maka itulah yang ia keluarkan. 
 
Jadi, kalau kita ingin punya akhlak baik, maka harus berjuang agar memiliki hati yang baik. Bagaimana agar memiliki hati yang baik? Kuncinya adalah belajar dan bersungguh-sungguh. Ilmu akan sia-sia jika tidak dipraktikkan. Ilmu akan percuma jika tidak diamalkan. Namun, amal juga akan menguap begitu saja jika tidak diiringi dengan keistiqamahan. 
 
Bagaimana agar hati kita senantiasa baik dan jernih? Kebaikan hati akan terjaga sesuai dengan kekuatan zikir kita, yaitu ingatan kita kepada Allah SWT. Semakin hati kita penuh dengan zikrullah, maka hati akan lebih tenang dan bersih dari bibit-bibit penyakit hati. Salah satu bentuk zikir adalah setiap ucapan dan sikap kita selalu dikaitkan kepada Allah. Setiap kali akan mengucapkan sesuatu atau melakukan sesuatu, bertanyalah kepada diri sendiri, “Kalau saya melakukan ini, Allah suka atau tidak?!”
 
Cara zikir yang lain adalah dengan sering memeriksa niat, apakah kita sedang riya atau tidak, sombong atau tidak, mencari pujian manusia atau penilaian Allah, ikhlas atau mengharap pamrih manusia, dan seterusnya. Pergulatan hati kita yang seperti ini pasti diketahui oleh Allah, dan jika kita mendekatkan diri kepada-Nya, niscaya Allah memudahkan kita memiliki hati yang bersih dan istiqamah dalam kemuliaan akhlak. 
 
Allah SWT berfirman, “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah [2]: 284)
 
Saudaraku, hal yang wajib menjadi prioritas dalam hidup ini adalah memeriksa ke dalam hati kita tentang siapa yang dituhankan. Apakah kita menuhankan uang, kekayaan, atau menuhankan penilaian, pujian dan sanjungan orang. Ataukah menuhankan pangkat dan jabatan, sehingga rela melakukan apa saja demi kenaikan pangkat. 
 
Ini adalah perkara sangat penting. Karena sebagus apa pun yang kita ucapkan, seindah apa pun perbuatan kita, kalau tujuannya bukan Allah melainkan makhluk, maka kita bisa terjerumus ke dalam kemusyrikan. Kalau kita lebih mencari penilaian makhluk daripada penilaian Allah, kalau kita lebih takut dijauhi manusia daripada jauh dari Allah, kalau kita lebih takut kehilangan harta atau jabatan daripada kehilangan iman, maka sesungguhnya kita sedang mempersekutukan Allah. Na’udzubillahi mindzalik!
 
Dan, setiap apa yang tersembunyi dalam hati kita, sesungguhnya Allah pasti mengetahuinya. Setiap niat dan maksud yang kita rahasiakan dalam hati kita, pasti Allah mengetahuinya. Dan, sebagaimana ayat yang disebutkan sebelumnya, semua itu pasti dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan ada balasannya.
 
Kita sering menjaga supaya pakaian tidak kotor. Kita pun sering menjaga agar kendaraan tidak kotor. Namun, kita jarang bersungguh-sungguh menjaga agar hati ini tidak kotor. 
 
Allah berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. asy-Syams [91]: 9-10)
 
kita harus tahu, salah satu yang sering kita lalaikan adalah membiarkan banyak hal yang tidak perlu, terjadi mengotori hati kita. Padahal kedekatan kita dengan Allah sangat bergantung pada qalbun saliim, hati yang selamat, hati yang bersih. Bukan bergantung pada banyaknya gelar, bukan bergantung pada banyaknya harta. 
 
Semakin bersih hati seseorang, maka akan semakin mudah untuk yakin kepada Allah SWT. Semakin hatinya kotor, semakin tidak yakin ia kepada Allah, akan semakin mudah ia merasakan kegelisahan, kegalauan, resah, stres oleh hal-hal yang kecil. 
 
Ada satu hal yang paling mudah mengotori hati kita, yaitu kecintaan terhadap duniawi, hubbud dunyaa. Kalau kita bisa menempatkan hal ini dengan tepat, maka hati kita akan jauh lebih tenang. Namun jika sebaliknya, maka hati kita akan resah, gelisah yang tak ada ujung pangkalnya.
 
Seperti dunia ini, mungkin kita seringkali mengukur kesuksesan dengan ukuran harta kekayaan, gelar, pangkat, jabatan, kedudukan, popularitas, piala, piagam penghargaan. Padahal tidak ada di dalam al-Quran menyebutkan alat ukur kesuksesan, kecuali hanya satu, yaitu sebagaimana firman Allah, “..Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurat [49]: 13)
 
Kunci kebersihan hati adalah tauhid yang lurus. Oleh karena itu, jika ingin menjadi pribadi yang shalih, kuncinya adalah tauhid. Demikian juga jika ingin kehidupan lingkungan masyarakat akur dan tenteram, kuncinya adalah tauhid. Jika ingin kehidupan organisasi berlangsung dinamis, kompak, dan sinergi dalam kebaikan dan kebenaran, maka kuncinya adalah tauhid.
 


Editor : inilahkoran