Komunitas Kretek dan Mahasiswa NU IPB Membedah Siasat Korporasi Farmasi Jualan Nikotin

Komunitas Kretek bekerja sama dengan Komunitas Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Institut Pertanian Bogor (IPB), menggelar bedah buku Nicotine War karya Wanda Hamilton di Fakultas Pertanian IPB, Kota Bogor pada Sabtu 29 Oktober 2022.

Komunitas Kretek dan Mahasiswa NU IPB Membedah Siasat Korporasi Farmasi Jualan Nikotin
INILAHKORAN, Bogor - Komunitas Kretek bekerja sama dengan Komunitas Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Institut Pertanian Bogor (IPB), menggelar bedah buku Nicotine War karya Wanda Hamilton di Fakultas Pertanian IPB, Kota Bogor pada Sabtu 29 Oktober 2022.
Diskusi bedah buku bertajuk ‘Membedah Siasat Korporasi Farmasi Jualan Nikotin’ ini menghadirkan narasumber Direktur Penerbit Kolofon dan Penulis 'Menjadi Simpul, Menggerakkan Asa' yaitu Aditia Purnomo, Peneliti Sajogyo Institute, Institut Pertanian Bogor Eko Cahyono dan Koordinator Nasional Komunitas Kretek 2010-2016 yang juga penulis buku 'Membunuh Indonesia' Abhisam Demosa.
Abhisam Demosa berpendapat, Nicotine War adalah hasil riset dan kajian Wanda Hamilton yang menguliti kepentingan bisnis obat-obatan yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT) dalam agenda global pengontrolan tembakau. 
"Perang nikotin, sebagaimana digambarkan Wanda Hamilton, sudah nyaris dimenangkan oleh korporasi-korporasi farmasi internasional dengan kesuksesannya melalui kampanye global antitembakau serta dukungan penuh dari WHO, lembaga kesehatan publik, pemerintahan dan NGO anti tembakau," ungkap Abhisam kepada wartawan.
"Gerakan global pertama anti tembakau terjadi pada 1998 yang digawangi oleh Free Tobacco Initiative. Kemudian, dari situ melahirkan Framework Convention Tobacco Control (FCTC). Pada akhirnya, mereka berupaya mendesak pemerintah Indonesia untuk meratifikasi FCTC," tambah Abhisam.
Abhisam menerangkan, isu antirokok telah berkembang di Indonesia, salah satu agenda besarnya adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) yang terus diperingati di Indonesia setiap tanggal 31 Mei. 
"Antirokok berusaha untuk mematikan Industri Hasil Tembakau (IHT). Padahal, kretek merupakan bagian dari entitas sosial, budaya, tradisi, dan sejarah lokal Indonesia. Bahkan, kretek sendiri adalah produk asli Indonesia," terang Abhisam.
Sementara itu, Peneliti Sajogyo Institute, Eko Cahyono menggunakan pendekatan ekonomi politik dalam memahami Nicotine War. Menurutnya, ada ada siklus penciptaan budaya pasar yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Mereka menyewa ilmuwan untuk mengampanyekan ekonomi politik berbasis pengetahuan.
"Kita dijajah dengan tersenyum karena legitimasi saintifikasi. Setelah saintifik kokoh, mereka bermain dan intervensi via WHO. Sebab, gak mungkin akan terjadi perang sedahsyat ini jika tidak ada pengetahuan saintifik. Negara adidaya itu kalo sudah ada maunya, yang lain harus ngikut," ungkap Eko.
Eko melanjutkan, ketidakmandirian pada level pengetahuan, membuat bangsa Indonesia sering tidak tepat menemukan solusi atas berbagai persoalan. Masyarakat Indonesia telah lama diintervensi oleh kampanye kesehatan yang masif dan dipaksa mengamini hasil penelitian luar negeri secara mentah-mentah.
"Orang sehat adalah orang tidak merokok. Orang tidak sehat adalah orang merokok. Pertanyaannya, sehat atau tidak sehat itu standar siapa?, maka, kapitalisme kesehatan menciptakan pemburukan sistem kesehatan di Indonesia yang semakin tidak adil dan diskriminatif," tuturnya.
Senada dengan Abhisam dan Eko, Direktur Penerbit Kolofon, Aditia Purnomo menilai, pentingnya Nicotine War untuk diterbitkan kembali. Nicotine War perlu dibaca dan melihat konteks Indonesia sekarang. Pemerintah, hingga saat ini, masih diatur oleh kepentingan-kepentingan global dan tidak bisa memiliki kedaulatan sendiri.
Adit juga menyoroti negara yang masih malu-malu mengakui bahwa cukai rokok sangat dibutuhkan. Padahal negara membutuhkan banyak uang sehingga pilihannya adalah menaikkan tarif cukai rokok setinggi-tingginya. 
"Ketika cukai rokok naik maka persebaran rokok ilegal akan meningkat. Itu yang tidak dipahami oleh pemerintah. Jadi, bagaimana mungkin negara membutuhkan banyak dana, tetapi kebijakannya justru mengurangi pendapatan negara," pungkasnya.


Editor : Ahmad Sayuti