Meski Tergerus Zaman, Warga di Cihampelas Konsisten Membuat Layang-layang 

Sebagai salah satu wilayah penghasil layang-layang, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat (KBB) masih konsisten membuat layang-layang meski tergerus zaman.

Meski Tergerus Zaman, Warga di Cihampelas Konsisten Membuat Layang-layang 
Sebagai salah satu wilayah penghasil layang-layang, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat (KBB) masih konsisten membuat layang-layang meski tergerus zaman./INILAH-Agus Satia Negara
INILAHKORAN, Ngamprah - Sebagai salah satu wilayah penghasil layang-layang, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat (KBB) masih konsisten membuat layang-layang meski tergerus zaman.
Bahkan, tak sedikit warganya mengandalkan kerajinan berbahan bambu dan kertas ini sebagai profesi untuk menyambung hidup.
Namun, pada bulan Agustus ini menjadi penuh berkah lantaran para pengrajin layang-layang ini kebanjiran pesanan.
Seperti yang dirasakan Irvan (23) warga asal Kampung Cibunar, RT 03 RW 06, Desa Tanjungwangi, Kecamatan Cihampelas. Dibantu warga lainnya, ia kebanjiran pesanan dari pedagang di wilayah Bandung Barat dan Kabupaten Bandung.
"Antara musim kemarau atau saat libur sekolah itu banyak yang memesan layangan. Sekitar bulan Maret dan Agustus," katanya.
Menurutnya, pembuatan layang-layang membutuhkan proses yang cukup panjang dan lama. "Dari mulai menyiapkan bahan bambu, mengolah bilah bambu menjadi kerangka hingga mengecat corak gambar pada layangan tersebut," tuturnya.
Sehingga, sambung dia, dalam membuat layang-layang harus melibatkan sejumlah tenaga kerja yang memiliki spesialis merajut bambu, menempel bambu di kertas, sampai dengan mengedarkannya ke pasar.
"Makanya, produksi perminggunya tidak menentu, tergantung dari pengrajinnya. Kalau cepat ya bisa 1.000 lembar layang-layang dalam seminggu, tetapi jika prosesnya lambat ya bisa lebih," jelasnya.
Ia menyebut, penghasilan dari membuat layang-layang ini bisa membantu perekonomian keluarga. Bahkan, bisa membuka lapangan kerja bagi warga sekitar.
"Jadi mayoritas warga Tanjungwangi merupakan pembuat layangan, ada dari Kampung Cibunar, Cisalak, dan Cibinong. Belum di desa-desa lainnya. Dari mulai anak-anak, orang dewasa sampai ibu-ibunya bisa buat layangan," tuturnya.
Kendati demikian, ia mengaku, tak mengetahui pasti sejak kapan wilayahnya identik menjadi kampung layang-layang, namun diperkirakan sejak puluhan tahun lalu warga menekuni kerajinan ini hingga sekarang. Sebab, dirinya sendiri baru sekitar tiga tahun memproduksi layang-layang setelah belajar dari sang kakak.
"Kalau saya masih baru, produksi semenjak pandemi, karena aktivitas kuliah dihentikan jadi enggak ada kegiatan. Bosan di rumah terus berfikir usaha apa, kenapa enggak coba buat layangan, lumayan lah," ungkap pria yang masih berkuliah di Uninus Bandung itu.
Untuk harga tergantung kualitas, namun biasanya pengrajin mematok antara Rp 900 ribu hingga di atas Rp 1 jutaan untuk seribu lembar layang-layang.
"Tergantung jenisnya, dari yang biasa sampai super, yang termurah itu layangan jabrug. Biasanya jenis layangan ini banyak yang dipesan buat aduan," tandasnya.*** (agus satia negara).


Editor : JakaPermana