(Sikap Kami) Aduh, Pancasila Kita

TOKOH bangsa Ahmad Syafii Maarif menyampaikan kegalauannya tentang praktik Pancasila. Kita, sudah cukup lama, menyimpan kegalauan yang sama. Tidak bisa dibantahkan, banyak di antara kita yang menjadikan Pancasila sebagai etalase –politik dan hanya pemanis di bibir.

(Sikap Kami) Aduh, Pancasila Kita

TOKOH bangsa Ahmad Syafii Maarif menyampaikan kegalauannya tentang praktik Pancasila. Kita, sudah cukup lama, menyimpan kegalauan yang sama. Tidak bisa dibantahkan, banyak di antara kita yang menjadikan Pancasila sebagai etalase –politik dan hanya pemanis di bibir.

Salah satu yang membuat kita meyakini Pancasila dijadikan sebagai etalase, pemanis bibis, bahkan senjata politik, adalah begitu banyaknya pihak-pihak yang mengklaim diri sebagai Pancasila. Saya Pancasila, Saya NKRI.

Yang lain tidak Pancasila? Mungkin betul. Yang lain Pancasilais. Yang lain adalah orang yang menjunjung dan menjalankan kehidupan berlandaskan Pancasila. Bukan yang berteriak-teriak hanya sekadar slogan Pancasila.

Baca Juga : Sikap Kami: PNS Negeri Antah-berantah

Jika Pancasila betul-betul dijalankan, maka korupsi dan sejenisnya otomatis bakal tertekan. Faktanya ? Indeks persepsi korupsi kita makin parah. Tingkat korupsi meraja dari atas ke bawah. Jika Pancasila diamalkan, tingkat demokrasi kita akan naik, bukan melorot. Jika Pancasila jadi pedoman seluruh kita, tingkat kebahagiaan akan meroket, nyatanya tidak.

Pemerintah pun menghadirkan langkah-langkah kontradiktif dalam penegakan Pancasila. Di satu sisi, pemerintah membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Badan Ini pun hasil kerjanya nyaris tak terdengar sama sekali.

Ironisnya, pemerintah tiap sebentar menyampaikan narasi tentang intoleransi dan radikalisme yang cenderung terdengar bak kampanye. Sadarkah pemerintah bahwa narasi-narasi semacam itu justru bisa meningkatkan intoleransi dan radikalisme karena dilakukan tidak pada saat dan tempat yang tepat?

Baca Juga : Sikap Kami: Utang Kita di Jatigede

Di samping itu, saat narasi-narasi yang memecah belah bangsa itu muncul, pemerintah juga tidak berbuat apa-apa. Apa yang dilakukan pemerintah saat narasi radikalisme hingga taliban menghantam Komisi Pembertantasan Korupsi (KPK)? Tak ada sama sekali. Bungkam. Padahal, bukankah narasi semacam itu justru bisa menjadi bumerang, memicu pemikiran, sikap, dan tindak yang radikal?

Halaman :


Editor : Bsafaat