Pemprov Jabar Berharap Kekurangan 599,8 Miliar Untuk BOPD Disahkan di Anggaran Perubahan 2023

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat melalui Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Barat berupaya memuluskan target anggaran Biaya Operasional Pendidikan Daerah (BOPD) sekitar Rp1,5 triliun pada tahun 2023 ini.

Pemprov Jabar Berharap Kekurangan 599,8 Miliar Untuk BOPD Disahkan di Anggaran Perubahan 2023
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat melalui Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Barat berupaya memuluskan target anggaran Biaya Operasional Pendidikan Daerah (BOPD) sekitar Rp1,5 triliun pada tahun 2023 ini./istimewa
INILAHKORAN, Bandung-Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat melalui Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Barat berupaya memuluskan target anggaran Biaya Operasional Pendidikan Daerah (BOPD) sekitar Rp1,5 triliun pada tahun 2023 ini.
Di mana dalam APBD murni 2023, BOPD telah disahkan Rp933 miliar dengan perhitungan untuk 9 bulan setelah disahkan DPRD Jabar. 
Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Dedi Supandi mengatakan anggaran BOPD sebesar Rp933 miliar tahun 2023 ini telah diputuskan untuk operasional selama sembilan bulan sejak APBD murni disahkan pada Januari 2023 lalu. 
"Jika saat ini (APBD Murni) sebesar Rp933 miliar, berharap di (anggaran) perubahan dapat disahkan 599,8 miliar Sehingga target dapat tercapai untuk BOPD 2023," Dedi Supandi, Kamis (9/2/2022). 
Dia memastikan, Pemprov Jabar akan terus melakukan koordinasi dan melakukan pengajuan kembali pada APBD perubahan kepada DPRD Jabar melalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah terkait BOPD 2023. Terlebih BOPD tidak sekadar pendamping Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tapi juga membebaskan peserta didik dari kewajiban membayar iuran atau SPP.
"Pemprov Jabar akan terus melakukan koordinasi dan melakukan pengajuan kembali kepada DPRD agar dapat menerima tambahan APBD Perubahan sesuai pengajuan awal secara total yaitu Rp1,5 triliun pada 2023," paparnya. 
Dedi juga mamastikan, pihaknya bakal terus melakukan evaluasi pada BOPD sebagai kebijakan Pemprov Jabar yang telah ada sejak Juni 2019 ini. Itu dilakukan untuk mendorong prinsip berkeadilan di sektor pendidikan Jabar. 
Seperti yang pihaknya lakukan pada September 2022 lalu, di mana telah melakukan riset dan evaluasi. Riset evaluasi ini diisi oleh keterwakilan sekolah negeri sebanyak 340 sekolah
berpartisipasi melalui kuesioner yang selanjutnya dilakukan riset pendalaman terhadap 33 sekolah secara lebih lanjut.
Hasil dari survei awal menunjukan bahwa ada beban administrasi yang
cukup rumit dalam BOPD, mulai dari perencanaan, pengajuan, pelaporan, waktu pendek.
"Hasil juga menunjukan bahwa BOPD sangat diandalkan untuk menggaji guru non-PNS. Sekolah bebannya berat sehingga tidak memiliki tenaga untuk mengurusi hal administratif BOPD," katanya. 
Berkaca dari hasil riset serta evaluasi tersebut, Dedi melanjutkan, maka ada beberapa hal yang harus dikaji, di antaranya mengubah formula transfer dari per siswa, menjadi fiscal gap. Juga persempit peruntukan BOPD hanya untuk yang prioritas. 
Pihaknya juga tidak ingin tejadi ketidakadilan pada distribusi BOPD. Maka tindak lanjut yang diproses dinas pendidikan, yaitu Pembahasan Juknis dipisahkan untuk setiap jenis sekolah (SMA/SMK/SLB) untuk tahun anggaran ke depan. Perlu mendefinisikan kebutuhan operasional minimal untuk setiap jenis sekolah.
Kedepan, BOPD diarahkan untuk memprioritaskan membiayai kebutuhan operasional minimal. Diketahui, kebutuhan operasional minimal adalah kebutuhan dasar untuk berjalannya aktivitas sekolah. Perumusan kebutuhan operasional difasilitasi Dinas Pendidikan dan dapat melibatkan pengawas dan kepala sekolah.
"Berkoordinasi ke Inspektorat untuk audit pengeluaran sekolah periode sebelum dan setelah menerima BOPD. Simulasi perhitungan kebutuhan anggaran total BOPD melalui skema fiscal gap," jelas Dedi. (Riantonurdiansyah)*** 


Editor : JakaPermana