Sikap Kami: FPI dan (Mantan) Menteri

BAGAIMANA cara terbaik kita memandang Front Pembela Islam (FPI)? Syarat pertama adalah bersihkan hati dan benarkan pikiran. Dari situ, akan terlihat plus-minus ormas ini, baik-buruknya, sehingga kita bisa lebih jernih bersikap.

Sikap Kami: FPI dan (Mantan) Menteri

BAGAIMANA cara terbaik kita memandang Front Pembela Islam (FPI)? Syarat pertama adalah bersihkan hati dan benarkan pikiran. Dari situ, akan terlihat plus-minus ormas ini, baik-buruknya, sehingga kita bisa lebih jernih bersikap.

Sama saja seperti cara terbaik memandang pemerintahan Joko Widodo, Gubernur Ridwan Kamil, atau Wali Kota Oded M Danial. Atau, cara pandang terhadap ormas lainnya. Jika pretensi sudah ada sebelum mulai memandang, maka jangan berharap cara pandangnya akan jernih.

Benar, sebagai ormas, FPI lahir di tengah suasana tak lazim. Yakni ketika proses reformasi mencapai puncaknya. Dia berawal dari laskar yang justru dibina oleh beberapa pentolan Orde Baru, yang pada 10 tahun terakhir bahkan masih jadi pejabat di negeri ini.

Baca Juga : Sikap Kami: Jangan Tinggal Pilar Jurnalistik

Dalam perjalanannya, FPI mulai mendapat citra buruk ketika gemar memerangi lokasi maksiat, terutama di Jakarta. Tempat hiburan malam bernuansa mesum, tempat judi, tempat minuman keras, menyatroni kantor majalah Playboy dan sebagainya. FPI ingin membersihkan Jakarta, juga Indonesia, tapi mungkin caranya tak bisa diterima semua orang.

Terlebih, sepatutnya FPI memberi ruang bagi petugas kamtibmas untuk menertibkan. Tapi, siapapun tahu, tempat-tempat semacam itu adalah ladang mainan juga bagi oknum-oknum penegak keamanan dan ketertiban. Jadi, kalaupun FPI keliru, kekeliruan itu sejatinya tak mutlak milik mereka.

Lalu, belakangan FPI bertransformasi. Dia lebih banyak beraktivitas di ladang sosial. Istilahnya, di mana ada bencana alam, maka yang pertama datang membantu bukanlah negara, melainkan FPI. Itu setidaknya yang bisa dilihat publik dengan mata telanjang di Aceh, Palu, Lombok, Banten, bahkan hingga seantero Jawa Barat.

Baca Juga : Sikap Kami: Masih Adakah 'Keindonesiaan'?

Bahwa pada akhirnya mereka menjadi “kekuatan politik” meski bukan partai politik, itu tak terhindarkan. Pendukungnya terlalu banyak.

Halaman :


Editor : Zulfirman