Sikap Kami: Masih Adakah 'Keindonesiaan'?

IMBAUAN Presiden Joko Widodo soal komunikasi yang sejuk di media sosial, patut kita apresiasi. Tapi, imbauan saja tidak cukup. Jokowi sebagai kepala negara, kita anggap, perlu turun tangan langsung, agar kegaduhan tak menjadi-jadi.

Sikap Kami: Masih Adakah 'Keindonesiaan'?

IMBAUAN Presiden Joko Widodo soal komunikasi yang sejuk di media sosial, patut kita apresiasi. Tapi, imbauan saja tidak cukup. Jokowi sebagai kepala negara, kita anggap, perlu turun tangan langsung, agar kegaduhan tak menjadi-jadi.

Kenapa kita bilang begitu? Yang utama adalah karena di media sosial, kita mendapatkan pertanyaan: ‘Indonesia’ itu memang masih ada atau sekadar tinggal nama?

Dari perbincangan di media sosial, kita menangkap kesan betapa pertikaian itu sudah sedemikian tajamnya. Tak ada lagi keelokan budi sebagaimana Indonesia seutuhnya itu.

Baca Juga : Sikap Kami: Teladan Vaksin

Sepekan terakhir, misalnya, banyak yang bersyukur atas meninggalnya enam orang anak manusia di jalan Tol Jakarta-Cikampek. Siapakah yang bersyukur itu? Setidak-tidaknya mereka yang mendukung pemerintah. Adakah nilai-nilai keindonesiaan jika ada yang menyukuri korban meninggal, apapun afiliasi politiknya?

Hal serupa terjadi beberapa hari kemudian. Sebuah mobil pengangkut aparat Brimob terguling di Jambi. Aneh buat kita, ada yang bersyukur karenanya. Ada yang menjadikan olok-olok. Bahkan, ada pula yang membuat meme hoaks, menyebutkan petugas yang luka adalah korban pihak yang beroposisi.

Indonesia masih ada. Tapi, keindonesiaan sungguh kita ragukan. Kita bukan lagi bangsa yang satu. Kita sudah terbelah-belah. Atau setidaknya di ambang keterbelahan.

Baca Juga : Sikap Kami: Kuc4y

Itu sebabnya, kita mendukung pernyataan Jokowi soal komunikasi sejuk di media sosial itu. Kita tak ingin jurang keterbelahan bangsa ini makin dalam hanya karena permainan jari-jemari.

Halaman :


Editor : Zulfirman