Skenario China Serang Taiwan Mungkin Hanya Fantasi

Lawatan Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi ke Taiwan awal Agustus lalu, langsung memicu apa yang disebut "krisis Selat Taiwan keempat".

Skenario China Serang Taiwan Mungkin Hanya Fantasi
Lawatan Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi ke Taiwan awal Agustus lalu, langsung memicu apa yang disebut "krisis Selat Taiwan keempat"./antarafoto

INILAHKORAN, Bandung-Lawatan Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi ke Taiwan awal Agustus lalu, langsung memicu apa yang disebut "krisis Selat Taiwan keempat".

Kunjungan Pelosi itu membuat China murka hingga menggelar latihan militer dekat Taiwan yang berakhir Rabu 10 Agustus lalu.

China kembali menggelar latihan militer setelah sejawat-sejawat Pelosi di Kongres AS gantian mengunjungi Taiwan.

Krisis ini disebut krisis Taiwan keempat setelah 1954-1955, krisis 1958, dan krisis 1995-1996 yang dipicu oleh kunjungan presiden Taiwan saat itu, Lee Teng-hui, ke Amerika, sehingga mendorong China menggelar latihan militer besar-besaran.

Pelosi menilai lawatannya ke Taiwan adalah bagian dari tanggung jawab AS dalam melindungi demokrasi dari otoritarianisme.

Sebaliknya China menganggap setiap kunjungan pejabat negara asing ke Taiwan sebagai bentuk pengakuan kedaulatan Taiwan dan oleh karena itu dipandang melawan China karena pulau itu dianggap wilayahnya.

Presiden Joe Biden segera menenangkan China dengan menyatakan AS masih menganut "kebijakan satu China".

Namun pertanyaan mengenai apakah China akan menyerang Taiwan selalu ada.

Banyak yang percaya China bakal segera menduduki Taiwan, tetapi banyak pula yang yakin China tak akan menyerang Taiwan.

Alasannya, Xi Jinping tak akan berbuat sejauh Vladimir Putin yang tak peduli menghancurkan negara yang ironisnya disebut Rusia sebagai saudara sebangsa karena satu suku bangsa, satu akar budaya dan bahkan satu keyakinan.

China mungkin menganggap apa yang sudah dicapai Taiwan adalah juga pencapaiannya.

Oleh karena itu memaksa reunifikasi Taiwan dengan cara militer yang hampir pasti menciptakan kehancuran, akan sama artinya dengan juga menghancurkan China.

Kendati tak mengesampingkan opsi militer, China sepertinya tidak tertarik dengan langkah membombardir kota-kota Taiwan seperti yang dilakukan Rusia terhadap kota-kota Ukraina. China justru mungkin menganggap Taiwan saudara sebangsa yang tak boleh dihancurkan.

Dari perspektif historis sendiri, kecuali sewaktu dikuasai Mongol dari 1205-1279, China hampir tidak memiliki riwayat kolonialistis seperti kebanyakan negara Eropa di masa lalu, termasuk Rusia.

China justru kehilangan wilayahnya pada akhir abad ke-19 (jika era ini dianggap sahih untuk mengklaim kedaulatan di wilayah lain yang sudah bukan teritorial mereka).

Mengutip laman Geopolitical Monitor, China kehilangan wilayah seluas 600 ribu km persegi setelah perjanjian Aigun pada 1858 membuat China yang waktu masih di bawah kekuasaan Dinasti Qing mesti menyerahkan wilayah itu kepada Rusia.

Daerah yang dulu disebut Manchuria luar pun hingga kini menjadi Wilayah Timur Jauh Rusia.

Ada perasaan di China bahwa kedua perjanjian itu tidak adil dan merupakan bentuk penghinaan Barat terhadap China.

Soft power

Dari sisi militer, invasi ke Taiwan mengharuskan China melancarkan serangan amfibi yang diyakini bakal membuat China kehilangan korban besar sebelum bisa menguasai Taiwan.

Kalaupun pemerintahan Taiwan jatuh, China masih akan dihadapkan dengan gerilya berkepanjangan di daerah-daerah pegunungan dan perkotaan padat penduduk.

Situasi ini sedang terjadi di Ukraina saat ini di mana Rusia terlihat terlihat kesulitan mencengkeram wilayah yang sudah didudukinya.

China tak menginginkan keadaan serupa ini terjadi jika mereka menyerang Taiwan.

Selain itu, serangan terhadap Taiwan akan memicu intervensi militer langsung AS.

Bukan saja terikat oleh traktat pertahanan dengan Taiwan, AS sejak lama berusaha memfokuskan perhatian ke Asia dan China yang saat ini agak teralihkan oleh invasi Rusia ke Ukraina.

Pertaruhan besar lainnya jika perang Taiwan terjadi adalah dampaknya yang tak hanya menyengsarakan Taiwan, namun juga bisa merugikan China.

Rakyat China yang terdampak perang, terutama secara ekonomi, bisa membuat China menghadapi front lain di China daratan.

Dampak buruk perang terhadap ekonomi bisa menciptakan gejolak bahkan reorientasi politik di dalam negeri yang bisa berubah merongrong rezim.

Tetapi, meminjam analisis laman Grid, China hanya akan menyerang Taiwan jika faktor eksternal memaksa China mengambil cara militer.

Undang-Undang anti pemisahan diri di China yang berlaku sejak 2005 menyebutkan tiga kondisi yang memaksa China mengerahkan kekuatan militer untuk reunifikasi Taiwan.

Pertama, jika otoritas Taiwan resmi menyatakan memisahkan diri dari China. Kedua, jika ada peristiwa yang memicu pemisahan Taiwan dari China. Dan ketiga, jika ada situasi di mana "kemungkinan reunifikasi damai benar-benar sudah tak ada lagi."

Sejauh ini tiga kondisi ini tak tercipta, sementara Taiwan sendiri berusaha keras tidak memantik serangan militer China.

Sebaliknya, China terlihat lebih memilih soft power, walaupun sejauh ini sepertinya belum berhasil.

Salah satu ilustrasi yang bisa disampaikan adalah adanya masa ketika hubungan Taiwan dengan China berada pada titik termesra.

Saat itu Xi Jinping bahkan menggelar pertemuan bersejarah dengan presiden Taiwan saat itu, Ma Ying-jeou, pada 2015.

Namun setahun kemudian, sang presiden tersingkir karena mayoritas warga Taiwan berpaling dari dia untuk memilih kandidat yang menyuarakan otonomi Taiwan, Tsai Ing-wen.

Taktik Salami

Warga China dan Taiwan juga sudah begitu dekat satu sama lain hingga ratusan ribu warga Taiwan tinggal di China daratan. Belum lagi fakta 40 persen dari total ekspor Taiwan dilemparkan ke pasar China.

Tetap saja, menurut jajak pendapat Brookings Institution pada 2021, mayoritas warga Taiwan, khususnya kaum muda, malah merasa semakin merasa beridentitas Taiwan ketimbang China.

Tetapi itu tak membuat gegabah dalam bermanuver. Sebaliknya China semakin anteng dengan pendekatan non militer, walau dalam waktu bersamaan postur militernya semakin besar dan proyeksi kekuatannya pun semakin luas.

China memang tidak mengecualikan opsi militer, apalagi statusnya sebagai kekuatan militer terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Rusia, secara teoritis akan sangat mudah menaklukkan Taiwan.

Tetapi China malah terlihat semakin aktif mengisolasi Taiwan, baik secara ekonomi maupun diplomatik, lewat strategi yang diistilahkan oleh United States Institute of Peace sebagai "taktik mengiris Salami".

Salami adalah makanan sebentuk sosis yang diiris tipis-tipis untuk menjadi isi pizza, sandwich dan sejenisnya.

Upaya China dalam menekan dan membujuk negara-negara yang masih memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan agar menghentikan pengakuan formal kepada Taiwan adalah bagian dari "taktik Salami".

Taktik ini juga bisa dilihat di Pasifik dan Karibia di mana kebanyakan negara di sini masih membina hubungan diplomatik dengan Taiwan. Contohnya ofensif ekonomi China di Kaledonia Baru yang membuat gerah Australia sebagai kekuatan utama di Pasifik selatan.

Tekanan juga diarahkan kepada perusahaan-perusahaan asing yang masih mengakui Taiwan sebagai wilayah terpisah dari China, bahkan menekan mereka yang menjadi donatur untuk politisi atau parpol Taiwan yang menginginkan otonomi dari China.

China tampak terus memainkan taktik ini sampai lama kelamaan Taiwan terkepung secara ekonomi dan diplomatik. Sebaliknya segala pintu ekonomi dan politik Taiwan semakin dikuasai oleh China.

Mungkin akan ada masanya ketika China menggunakan kartu truf ini pada tingkat maksimum, untuk mengganggu keseimbangan ekonomi Taiwan yang amat tergantung impor itu sehingga opini publik dan kemudian otoritas di wilayah ini mengubah orientasinya kepada China.

Jika ini terjadi, maka China bisa mendapatkan Taiwan seperti "menangkap ikan tanpa mengeruhkan kolam", sekaligus membuat pihak luar termasuk Amerika Serikat kesulitan mendapatkan alasan untuk intervensi di Taiwan.

Oleh karena itu, dari perspektif ini, untuk saat ini dan beberapa tahun ke depan, skenario China menyerang Taiwan mungkin hanya fantasi.(antara)***


Editor : JakaPermana