Guru Besar IPB University Dwi Guntoro Beberkan Strategi Pengelolaan Gulma Resisten Herbisida

Guru besar IPB University Dwi Guntoro membeberkan strategi pengelolaan gulma resisten herbisida untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Hal ini tercetus dikarenakan kebutuhan beras di Indonesia makin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 280,73 juta jiwa. Konsumsi beras 82,87 kg/kapita/tahun. 

Guru Besar IPB University Dwi Guntoro Beberkan Strategi Pengelolaan Gulma Resisten Herbisida
Dwi Guntoro melanjutkan, gulma merupakan salah satu organisme pengganggu tanaman yang dapat mengancam ketersediaan pangan global karena dapat menyebabkan penurunan hasil tanaman padi akibat kompetisi, alelopati dan sebagai inang hama penyakit. (istimewa)

INILAHKORAN, Bogor - Guru besar IPB University Dwi Guntoro membeberkan strategi pengelolaan gulma resisten herbisida untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Hal ini tercetus dikarenakan kebutuhan beras di Indonesia makin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 280,73 juta jiwa. Konsumsi beras 82,87 kg/kapita/tahun. 

"Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Kendala yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi beras, diantaranya adalah penurunan luas lahan sawah, degradasi kesuburan tanah, perubahan iklim dan gangguan hama penyakit dan gulma," ungkap Dwi Guntoro, Jumat 26 April 2024.

Dwi Guntoro melanjutkan, gulma merupakan salah satu organisme pengganggu tanaman yang dapat mengancam ketersediaan pangan global karena dapat menyebabkan penurunan hasil tanaman padi akibat kompetisi, alelopati dan sebagai inang hama penyakit. Gangguan gulma tidak nampak sedrastis gangguan hama penyakit, namun penurunan hasil akibat gulma sangat besar. 

Baca Juga : Bapemperda DPRD Kota Bogor Evaluasi Pelaksanaan Perda Tibum dan Disabilitas 

"Penurunan produksi padi akibat gulma secara langsung rata-rata mencapai 30%, bahkan dapat menyebabkan gagal panen jika gulma tidak dikendalikan. Kehilangan tidak langsung dapat terjadi karena gulma menjadi inang hama penyakit. Hasil studi dari dua kabupaten sentra produksi padi sawah di Jawa Barat pada tahun 2022 menunjukkan bahwa gulma Monochoria vaginalis, Sphenoclea zeylanica dan Echinochloa crus-galli merupakan gulma dominan pada lahan padi sawah," terangnya.

Dwi Guntoro menjelaskan, gulma harus dikendalikan untuk menurunkan besarnya kehilangan hasil. Pada dua puluh tahun yang lalu, pengendalian gulma padi sawah banyak dilakukan secara manual. Namun, tenaga kerja pertanian saat ini semakin berkurang dan upah tenaga kerja semakin mahal sehingga biaya penyiangan manual semakin mahal. Pengendalian gulma beralih dari penyiangan manual menjadi pengendalian dengan herbisida. 

"Keuntungannya adalah lebih murah dan lebih cepat dibandingkan dengan penyiangan manual, namun berisiko terhadap pencemaran lingkungan dan kesehatan. Perilaku petani cenderung menggunakan herbisida dengan formulasi yang sama secara berulang ketika formulasi tersebut efektif mengendalikan gulma. Penggunaan herbisida berbahan aktif sama secara berulang dapat memicu kejadian resistensi gulma terhadap herbisida," jelasnya.

Baca Juga : Pintu Air Bendungan Katulampa Mulai Diperbaiki, Diharapkan Kualitasnya Lebih Baik

Masih kata Dwi, resistensi gulma adalah kemampuan gulma untuk tetap hidup dan meneruskan siklus hidupnya ketika terpapar herbisida pada dosis rekomendasi. Untuk mengendalikan gulma resisten maka dosis aplikasi herbisida harus ditingkatkan. Dampaknya adalah penurunan produksi, peningkatan biaya pengendalian, penurunan pendapatan petani dan peningkatan risiko pencemaran lingkungan dan kesehatan.

Halaman :


Editor : Doni Ramdhani