Hati-hati dengan Gadai Emas, Ini Hukumnya

Di masa-masa sulit karena kenaikan harga BBM seperti saat ini, banyak ibu rumah tangga yang mencoba bertahan dengan cara menggadaikan perhiasan emas mereka. Bagaimana hukumnya?

Hati-hati dengan Gadai Emas, Ini Hukumnya

Di masa-masa sulit karena kenaikan harga BBM seperti saat ini, banyak ibu rumah tangga yang mencoba bertahan dengan cara menggadaikan perhiasan emas mereka. Bagaimana hukumnya?

Ustadz Siddiq Al Jawi menjawab pertanyaan tersebut. Menurut beliau, gadai emas adalah produk bank syariah berupa fasilitas pembiayaan dengan cara memberikan utang (qardh) kepada nasabah dengan jaminan emas (perhiasan/lantakan) dalam sebuah akad gadai (rahn). Bank syariah selanjutnya mengambil upah (ujrah, fee) atas jasa penyimpanan/penitipan yang dilakukannya atas emas tersebut berdasarkan akadijarah(jasa). Jadi, gadai emas merupakan akad rangkap (uqudmurakkabah, multi-akad), yaitu gabungan akadrahndanijarah. (lihat Fatwa DSN MUI No 26/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai emas).

Menurut kami gadai emas haram hukumnya, dengan 3 (tiga) alasan sebagai berikut :

Baca Juga : Rindu Merasakan Kelezatan Cinta-Nya

Pertama, dalam gadai emas terjadi pengambilan manfaat atas pemberian utang. Walaupun disebutujrahatas jasa penitipan, namun hakikatnya hanya rekayasa hukum (hilah) untuk menutupi riba, yaitu pengambilan manfaat dari pemberian utang, baik berupa tambahan (ziyadah), hadiah, atau manfaat lainnya. Padahal manfaat-manfaat ini jelas merupakan riba yang haram hukumnya. Dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW,"Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah." (HR Bukhari, dalam kitabnyaAt-Tarikh Al-Kabir). (Taqiyuddin An-Nabhani,Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/341).

Imam Ibnul Mundzir menyebutkan adanya ijma ulama bahwa setiap tambahan atau hadiah yang disyaratkan oleh pihak yang memberikan pinjaman, maka tambahan itu adalah riba. (Al-Ijma, hlm. 39).

Kedua,dalam gadai emas, fee (ujrah) untuk jasa penitipan/penyimpanan dibebankan kepada penggadai (rahin), yaitu nasabah. Padahal seharusnya biaya itu dibebankan kepada penerima gadai (murtahin), yaitu bank syariah, bukan nasabah. Dalilnya sabda Rasulullah SAW,"Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya, dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan." (HR Jamaah, kecuali Muslim dan Nasa`i).

Baca Juga : Kepada yang Sedang Dirundung Rindu

Menurut Imam Syaukani, hadits tersebut menunjukkan pihak yang menanggung biaya barang jaminan adalahmurtahin(penerima gadai), bukanrahin(penggadai). Alasannya, bagaimana mungkin biayanya ditanggungrahin, karena justrurahinitulah yang memiliki barang jaminan. Jadi, menurut Imam Syaukani, hadits itu memberikan pengertian bahwa jika faidah-faidah terkait dengan kepentinganmurtahin, seperti penitipan (wadiah) barang jaminan, maka yang harus menanggung biayanyaadalahmurtahin, bukanrahin. (Imam Syaukani,As-Sailul Jarar,hlm. 275-276).

Halaman :


Editor : Bsafaat