Kenali Perbedaan Osteaoartritis dengan Osteoporosis

 Peningkatan populasi usia lanjut di seluruh dunia termasuk Indonesia berbanding lurus dengan kejadian penyakit yang berhubungan dengan usia.

Kenali Perbedaan Osteaoartritis dengan Osteoporosis
Ilustrasi
INILAH, Jakarta- Peningkatan populasi usia lanjut di seluruh dunia termasuk Indonesia berbanding lurus dengan kejadian penyakit yang berhubungan dengan usia.
 
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa osteoartritis merupakan satu-satunya penyebab disabilitas paling sering pada usia lanjut, sedangkan PBB memperkirakan bahwa pada tahun 2050 akan ada 130 juta orang di seluruh dunia yang menderita osteoartritis dengan 40 juta diantaranya mengalami disabilitas.
 
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada 2017 juga mencatat bahwa 1 dari 3 orang usia lanjut di Indonesia mengalami osteoartritis setidaknya pada satu sendi.
 
Berbeda dengan osteoporosis yang merupakan kondisi pengeroposan tulang, osteoartritis adalah kondisi penipisan tulang rawan pada sendi. Tulang rawan yang menipis akan menyebabkan tulang di dalam sendi saling bersentuhan, sehingga menyebabkan nyeri, bengkak, kaku, dan sulit bergerak.
 
Dalam percakapan sehari-hari, osteoartritis sering disebut dengan istilah pengapuran. Proses osteoartritis terjadi secara perlahan selama bertahun-tahun, dimana seiring bertambahnya tingkat penipisan tulang rawan, gejala nyeri yang muncul juga akan meningkat.
 
"Pada tingkat awal, target terapi diusahakan untuk mengurangi rasa sakit dan menjaga kondisi sendi agar tidak bertambah rusak. Tulang rawan yang semakin tipis dan rusak tidak dapat tumbuh kembali, maka pada tingkat osteoartritis yang lebih lanjut akan diperlukan tindakan untuk memperbaiki lapisan sendi," kata Dr.dr. Franky Hartono, Sp.OT (K).
 
Osteoartritis dapat terjadi di setiap sendi tubuh, namun sendi yang paling sering mengalami kondisi ini adalah sendi lutut. Bantalan tulang (meniscus) dan lapisan tulang rawan pada lutut yang robek bisa diperbaiki dengan tindakan artroskopi (prosedur memasukan lensa kecil ke dalam sendi lutut untuk melihat kondisi, memperbaiki, dan menjahit lapisan sendi yang robek atau lecet).
 
"Bila penipisan tulang rawan sudah lebih dalam dan luas, maka tidak cukup diperbaiki dengan tindakan artroskopi saja. Pada keadaan tersebut, sendi yang rusak perlu dilapisi dengan implan," tambahnya.
 
Dimulai sejak tahun 1968, tindakan penggantian sendi dilakukan dengan teknik Total Knee Arthroplasty, yaitu mengganti seluruh permukaan sendi lutut dengan implan. Namun, tidak semua pasien dengan osteoartritis mengalami kerusakan di seluruh permukaan sendi.
 
Untuk menghindari pemotongan bagian sendi lutut yang masih sehat, para peneliti menemukan suatu teknik baru yang disebut
Unicompartmental Knee Arthroplasty (UKA) atau operasi penggantian sendi lutut secara sebagian.
 
Teknik dan desain implan UKA pertama kali dipakai sejak tahun 1976 dan terus berkembang hingga tahun 1998 digunakan model Generasi ke-3 dari Oxford Unicompartmental Knee System yang saat ini digunakan oleh tim Hip, Knee, and Geriatric Trauma Siloam Hospitals Kebon Jeruk.
 
"Teknik ini memiliki banyak kelebihan karena hanya sebagian sendi lutut yang dibuang maka luka operasi menjadi lebih kecil. Pada teknik ini hanya 25 persen permukaan sendi yang dibuang dengan pendarahan operasi yang lebih sedikit sehingga luka operasi lebih cepat sembuh.
Pasien yang telah menjalani operasi UKA juga menyatakan bahwa keluhan nyeri pasca operasi lebih ringan," ungkapnya.
 
Dalam waktu rata-rata 1-2 hari, pasien dapat mulai latihan berjalan sehingga pasien memerlukan waktu rawat inap yang lebih singkat dibandingkan operasi penggantian sendi lutut jenis total. (inilah.com)


Editor : inilahkoran