Keyakinan dari Keragu-raguan

Banyak yang berpendapat, bahwa keyakinan harus dipegang teguh, dan tidak boleh diragukan sedikitpun. Tapi ternyata, bahwa ada seseorang yang mendapatkan keyakinannya dari keraguan yang amat mendalam. Siapakah dia?

Keyakinan dari Keragu-raguan
Ilustrasi/Net

Banyak yang berpendapat, bahwa keyakinan harus dipegang teguh, dan tidak boleh diragukan sedikitpun. Tapi ternyata, bahwa ada seseorang yang mendapatkan keyakinannya dari keraguan yang amat mendalam. Siapakah dia?

Pada abad ke 5 hijriah (11 masehi), Bangsa Turki menduduki wilayah Timur Tengah. Awalnya, mereka tidak punya agama, dan tidak punya bahasa tulis. Alhasil, mereka pun mengadopsi agama Islam, dan mengadopsi bahasa Persia sebagai bahasa resmi mereka. Ibu kota merekapun, pada awalnya terletak di wilayah Persia (sekarang Iran). Dengan pendudukan bangsa Turki ini, maka Khalifah di Baghdad menjadi tidak lebih daripada boneka Sultan Turki. Kekuasaan riil berada di tangan Sultan.

Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan terjadinya disintegrasi sosial. Konsekuensi perubahan ini adalah, terjadinya kekosongan dan kehampaan spiritualitas, terutama di seluruh wilayah kekhalifahan. Bermunculanlah berbagai aliran filsafat, kebatinan, ataupun kelompok rahasia, sebagai cara untuk mengisi kekosongan sosio-spiritual tersebut. Ditengah kekacauan sosial tersebut, hadirlah seorang Abu Hamid Al-Ghazali di panggung sejarah.

Baca Juga : Berhati-hatilah Ketika Wanita Menggoda

Al Ghazali dikenal sebagai seorang jenius. Dia sudah hapal al-quran dan menguasai bahasa arab, sebelum memasuki masa puber. Prestasi akademisnya di sekolah dan universitas sangat cemerlang, sehingga tidak heran jika akhirnya dia ditawarkan posisi menjadi guru besar dalam bidang ilmu agama di Universitas Nizamyyah, Baghdad. Sepintas, sampai disini kita melihat bahwa seorang Al-Ghazali akan menjadi seorang akademisi terkemuka untuk seterusnya. Namun, ternyata jalan hidupnya bergerak ke arah lain.

Pada suatu hari, Al Ghazali mengalami penyakit yang aneh. Dia kehilangan tenaga dan stamina untuk mengajar dan meneliti, sehingga produktivitasnya turun drastis. Dokter terbaik di seluruh wilayah kekhalifahan sudah dipanggil untuk menyembuhkan penyakit tersebut, tapi mereka semua angkat tangan. Akhirnya Al Ghazali sadar, bahwa penyakit dia bukanlah penyakit fisik, namun penyakit psikis.

Ternyata kegelisahan dia bermulai dari pertanyaan sederhana, yaitu apakah yang saya cari?. Pada waktu itu, Al Ghazali sudah memiliki posisi tinggi di Universitas, dan memiliki harta sangat banyak. Namun, akhirnya dia bertanya kepada dirinya sendiri, apakah semua ini adalah tujuan hidup saya? Posisi di Universitas? Harta berlimpah? Apakah hanya ini? Bagaimana kalo akhirnya saya kehilangan semuanya dalam sekejap?

Baca Juga : Tiga Resep Agar Suami tidak Selingkuh

Al Ghazali meyakini, bahwa motivasi dia mengajar dan meneliti tidaklah tulus demi kemanusiaan dan sesamanya. Semua itu hanya demi mendongkrak popularitas dia semata. Dan jika memiliki popularitas, hanya menunggu waktu sebelum akhirnya kehilangan semuanya. Perasaan kehilangan popularitas itu membuatnya sangat khawatir dan stress berkepanjangan. Semua pertanyaan itu, mengendap dalam pikirannya, tanpa ada jawaban. Akhirnya dia jatuh sakit.

Halaman :


Editor : Bsafaat