Keyakinan dari Keragu-raguan

Banyak yang berpendapat, bahwa keyakinan harus dipegang teguh, dan tidak boleh diragukan sedikitpun. Tapi ternyata, bahwa ada seseorang yang mendapatkan keyakinannya dari keraguan yang amat mendalam. Siapakah dia?

Keyakinan dari Keragu-raguan
Ilustrasi/Net

Akhirnya, dia melakukan uzlah, atau perjalanan mengembara selama bertahun-tahun. Setelah memberikan nafkah bagi anak dan istrinya untuk hidup, pergilah dia meninggalkan Baghdad. Seperti yang dikemukakan diatas, wilayah kekhalifahan waktu itu memiliki banyak aliran dengan berbagai macam ideologi. Pada awalnya, Al Ghazali bergabung dengan para filusuf. Di forum ini, Al Ghazali mempelajari karya filusuf muslim, seperti Ibn Sina dan Al Farabi. Dari para filusuf muslim itulah, dia mengenal pemikiran Plato, Aristoteles, yang adalah filusuf yunani klasik. Pada awalnya, Al Ghazali sangat puas bergabung dengan para filusuf.

Namun, akhirnya dia sadar, bahwa filsafat hanya mampu memberi jawaban terhadap kegelisahan di akal, namun tidak dapat menghentikan kegelisahan hati. Akhirnya, filusuf ia tinggalkan, dan memasuki kelompok kebatinan. Di kelompok kebatinan yang ia jumpai, Al Ghazali dipaksa untuk patuh secara buta terhadap gurunya. Pertanyaan atau keraguan adalah pembangkangan. Penggunaan akal, untuk menganalisa kebenaran, dilarang sama sekali. Ini jauh lebih buruk daripada kelompok filusuf, dan akhirnya kebatinan dia tinggalkan.

Akhirnya, Al-Ghazali bergabung dengan kelompok sufi. Berbeda dengan filsuf, sufisme tidak hanya menggunakan akal, namun juga intuisi. Berbeda juga dengan kebatinan, penggunaan akal dalam sufisme difungsikan untuk hal rasional. Pada dasarnya, kelompok sufi, yang bergabung dalam tarekat, melakukan olah batin untuk menjaga keseimbangan antara ikthiar (usaha manusia) dengan kepasrahan (berkah Ilahi). Seorang sufi, akan bekerja keras seperti hidup abadi di dunia, namun beribadah seperti akan segera berpulang kepada-Nya.

Baca Juga : Salat Sunat dan Pakaian Seksi untuk Berhubungan

Dalam Sufi, juga ditekankan benar untuk bertoleransi dengan sesama manusia yang berbeda keyakinan. Toleransi adalah keharusan, sebab dalam kacamata para Sufi, manusia, siapapun mereka, adalah ciptaan Tuhan. Menghargai dan mengapresiasi ciptaan Tuhan adalah suatu keniscayaan.

Bergaul dengan mereka yang berbeda ideologi dan berbeda keyakinan, sudah menjadi kebiasaan kaum Sufi. Karena ketepatan kaum Sufi untuk menjaga keseimbangan, antara dunia dan akhirat, dan keluwesan pergaulan mereka, bermain-main dalam celah baik dan buruk, berselancar di celah benar dan salah, menarikan untaian kata dengan leluasa kapan berhenti dan kapan memulai. Maka Al-Ghazali menjuluki kaum Sufi sebagai Penguasa segala keadaan.[ Al Ustadz Ridhau H Rasyid ]

Referensi:

-Ihya Ulumudin (Ilmu-ilmu agama), Abu Hamid Al Ghazali


Editor : Bsafaat