Sudah Buntung, Buta, Sendiri, Masih Saja Bersyukur

SEORANG salih, Abu Ibrahim, bercerita: suatu ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat tidak bisa pulang. Di sana kutemukan sebuah kemah lawas. Kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yang duduk di atas tanah dengan sangat tenang.

Sudah Buntung, Buta, Sendiri, Masih Saja Bersyukur
Ilustrasi/Net

SEORANG salih, Abu Ibrahim, bercerita: suatu ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat tidak bisa pulang. Di sana kutemukan sebuah kemah lawas. Kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yang duduk di atas tanah dengan sangat tenang.

Ternyata orang ini kedua tangannya buntung, matanya buta. Dia hidup sebatang kara tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat..

Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut: "Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia. Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia."

Baca Juga : Suami dan Istri yang Dirindukan di Rumah

Aku heran mendengar ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih jauh. Ternyata sebagian besar panca inderanya tak berfungsi. Kedua tangannya bunting, matanya buta. Ia sepertinya bahkan ia tidak memiliki apa-apa.

Kuperhatikan kondisinya sambil mencari adakah ia memiliki anak yang mengurusi, atau isteri yang menemaninya? Ternyata tak ada seorang pun.

Aku beranjak mendekatinya, dan ia merasakan kehadiranku. Ia lalu bertanya," Siapa? Ada siapa?"

Baca Juga : Hidup di Dunia Sangat Singkat seperti Pagi ke Sore

"Assalaamualaikum," kataku. Aku seorang yang tersesat dan mendapatkan kemah ini. Anda sendiri siapa?" tanyaku. "Mengapa Anda tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu, atau para kerabatmu?"

Halaman :


Editor : Bsafaat