Budaya Ewuh Pakewuh vs Klaster Keluarga Covid-19

Suasana pertemuan keluarga besar yang semula diterapkan dengan protokol kesehatan yang ketat dengan saling bersalaman ala tinju dan sikut, tiba-tiba berubah kikuk karena eyang lebih suka salaman berpegang telapak tangan, bahkan ingin memeluk erat anak-anak cucu-cucunya.

Budaya Ewuh Pakewuh vs Klaster Keluarga Covid-19
Ilustrasi/Antara Foto

Dengan perasaan ewuh pakewuh maka setiap orang akhirnya memaklumi jika ada orang lain atau komunitas lain tidak menjalankan protokol kesehatan, apalagi jika yang melanggar adalah orang yang lebih tua atau tokoh dan pimpinan mereka.

Mengubah atau minimal mengabaikan budaya ini saat berhadapan dengan protokol kesehatan, tentu tidaklah mudah, tetapi harus ada yang berani bersuara dan disuarakan, baik oleh kepala negara, kepala daerah, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan komunitas.

Berani mengingatkan, berani tegas dan tidak pandang bulu harus menjadi sikap bersama setiap individu dalam menerapkan adaptasi kebiasaan baru selama pandemi COVID-19.

Harus disadari, status apapun yang disandang seseorang, harus menerima setiap kritikan, teguran, atau sanksi jika melanggar protokol kesehatan.

Sikap ini wajib dijalankan secara konsisten oleh setiap individu, tidak peduli apakah dia adalah pejabat pemerintah, tokoh masyarakat atau bos yang patut dihormati bawahannya.

Konsisten artinya tanpa disorot publikpun adaptasi kebiasaan baru harus tetap dilakukan dan diterapkan, tidak hanya di lingkungan kerja dan lingkungan sosial, tetapi juga yang paling penting di lingkungan keluarga.

Ada seorang pegawai yang sempat berujar bahwa ada sejumlah pejabat yang selalu mengimbau penerapan protokol kesehatan, ternyata dalam keluarganya sendiri sering abai menerapkan hal itu, seperti saat menerima tamu dari kerabatnya dan sesama kader partainya.


Editor : Bsafaat