DPRD Jawa Barat Ingatkan Panitia PPDB Profesional dan Jauhi Praktik Pungli

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat (Jabar) mengingatkan kepada Panitia Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA, SMK dan SLB Tahun 2023 untuk bersikap profesional, transparan dan jangan sampai bertindak "nakal seperti melalukan praktik pungutan liar atau pungli.

DPRD Jawa Barat Ingatkan Panitia PPDB Profesional dan Jauhi Praktik Pungli
Wakil Ketua Komisi V DPRD Jawa Barat, Abdul Hadi Wijaya mengingatkan, kepada Panitia Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA, SMK dan SLB Tahun 2023 untuk bersikap profesional, transparan dan jangan sampai bertindak "nakal seperti melalukan praktik pungutan liar atau pungli. (Foto Antara)

INILAHKORAN, Bandung,- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat 
(Jabar) mengingatkan kepada Panitia Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA, SMK dan SLB Tahun 2023 untuk bersikap profesional, transparan dan jangan sampai bertindak "nakal seperti melalukan praktik pungutan liar atau pungli.

Wakil Ketua Komisi V DPRD Jawa Barat, Abdul Hadi Wijaya mengungkapkan, penerapan sikap profesional, transparan dan akuntabel menjadi sebuah keniscayaan yang harus dipegang teguh Panitia PPDB di Jabar.

Menurut Abdul Hadi Wijaya, jika kemudian ditemukan adanya dugaan praktik pungutan liar dalam pelaksanaan PPDB 2023 ini, DPRD meminta pelaku mendapatkan hukuman dihukum tegas.

Baca Juga : Tangkal Radikalisme Pada Remaja, DPRD Jabar Dorong Kolaborasi Semua Pihak

"Kami menuntut dan menyampaikan aspirasi masyarakat, siapapun kalau terjadi pungutan, hukum yang tegas," ungkap Abdul Hadi Wijaya pada Diskusi Galang Aspirasi Politik (Gaspol) yang digelar  PWI Pokja Gedung Sate bertajuk "PPDB Jabar Objektif dan Transparan, Peserta Didik Bahagia Lanjutkan Pendidikan" di Kota Bandung, Kamis 15 Juni 2023.
 
Abdul Hadi menegaskan, Komisi V DPRD Jabar sejak tahun lalu sudah bersepakat tidak akan "cawe-cawe" urusan titip-menitip siswa untuk lolos ke sekolah yang diinginkan, apabila ada pihak-pihak tertentu yang meminta Panitia PPDB untuk mengabaikannya.
 
"Dengan demikian, sekolah itu tahu sudah waktunya menghentikan praktik titip-menitip dan yang menitip tahu itu ilegal," katanya.
 
Dia mengatakan munculnya permasalahan di PPDB, khususnya titipan sangat banyak dan beragam, sebab ada semacam hukum permintaan dan penawaran yang tidak seimbang.
 
Contohnya, pendaftar PPDB di Bandung dan Kota Cimahi mencapai 17 ribu siswa, dengan posisi sekolah di wilayah urban cukup banyak, murid yang mendaftar tetap saja tidak bisa tertampung seluruhnya. "Untuk wilayah Bandung dan Cimahi yang bisa diterima 10 ribu siswa. Dan 7 ribu lainnya otomatis tidak diterima," ujarnya.
 
Permasalahan tersebut terkadang yang membuat sebagian masyarakat melakukan hal di luar logika sehingga praktik titip-menitip kerap muncul di PPDB.
 
Pihaknya menyarankan, sistem PPDB ke depan harus ada perubahan dan pemerintah pusat baiknya hanya membuat aturan pokok, sedangkan aturan teknis digarap oleh daerah. "Ini perlu semacam pen-detail-an oleh kearifan lokal di masing-masing wilayah," kata dia.
 
Sementara itu, pada diskusi tersebut Lembaga Bantuan Pemantau Pendidikan (LBP2) mengungkapkan awal mula sistem zonasi diterapkan secara nasional di tengah berlangsungnya Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA, SMK, SLB tahun 2023 di Jawa Barat.
 
Ketua LBP2, Asep B Kurnia atau Aa Maung mengatakan, sistem zonasi tidak "ujug-ujug" begitu saja diterapkan oleh pemerintah dan kebijakan tersebut bermula dari sistem PPDB yang digunakan oleh Kota Bandung pada 2014.
 
"Dan seingat saya, zonasi itu adalah awalnya rayonisasi Kota Bandung tahun 2014 dan dianggap berhasil. Padahal fakta di lapangan, belum waktunya atau belum berhasil, tapi diadopsi pemerintah pusat jadi zonasi," kata Aa Maung.
 
Dia menilai, hal itu merupakan gambaran apabila pendidikan di Indonesia dicampuri urusan politis dan rayonisasi digemborkan seolah berhasil diterapkan di Kota Bandung dan pantas diadopsi di lingkup yang lebih luas.
 
"Dengan harapan, sistem zonasi akan menghilangkan sekolah favorit. Saya melihat adanya zonasi itu tidak bisa menghilangkan asumsi masyarakat sekolah favorit," ujarnya.
 
Dia mengatakan pola pikir masyarakat saat ini menganggap sekolah favorit masih ada, sebab mereka melihat sekolah tersebut lebih bagus pelayanan, sarana prasarana dan infrastrukturnya. "Sehingga dari tahun 2014 sampai sekarang, pemerintah belum mampu untuk menyetarakan fasilitas, sarana prasarana, infrastruktur yang ada di Jabar," katanya.
 
Dia menduga, belum meratanya tiga aspek itu karena berkaitan dengan anggaran yang dimiliki pemerintah dan hasilnya pemerintah kesulitan untuk menyetarakan pendidikan SMA sederajat di Jabar.
 
Oleh karena itu, Aa Maung menyimpulkan sejak awal sistem zonasi diterapkan selalu saja ada masalah dan bagaimana pun sistem PPDB diutak-atik akan muncul banyak masalah. "Termasuk paradigma anggapan orangtua bahwa pasti selama ini tidak transparan," tegasnya. ***


Editor : Ghiok Riswoto