Kenaikan Iuran BPJS, Kado Pahit untuk Rakyat

INILAH, Jakarta – Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, Netty Prasetiyani, merasa gundah atas naiknya iuran BPJS tanpa konsultasi dengan DPR.

Kenaikan Iuran BPJS, Kado Pahit untuk Rakyat
istimewa

INILAH, Jakarta – Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, Netty Prasetiyani, merasa gundah atas naiknya iuran BPJS tanpa konsultasi dengan DPR.

“Ini kado pahit pelantikan buat rakyat yang sedang sekarat, menanggung beban berat,” ujar Netty  di Senayan, usai menghadiri pelantikan pimpinan Komisi IX DPR RI, Rabu (30/10).

 Menurut Netty, September lalu DPR telah menyatakan penolakan usulan pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS peserta mandiri. Pemerintah diminta untuk cleansing data kepesertaan dan mencari cara lain untuk menutup defisit BPJS. “Lho, kok, langsung naik. Seperti mencari jalan pintas saja atas defisit BPJS?,”paparnya.

Menurut dia, Presiden Jokowi pada 30 Oktober 2019 mengeluarkan Perpres No 75 tahun 2019 yang menjadi legitimasi bagi kebijakan naiknya  iuran BPJS Kesehatan. Dalam Perpres tersebut dirinci bahwa kenaikan iuran untuk peserta mandiri yang berlaku mulai Januari 2020 adalah sebagai berikut:  kelas   III  dari 24.000 menjadi  42.000, kelas II dari 51.000 menjadi 110.000 dan  kelas I dari 81.000 menjadi 160.000. Sedangkan untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya ditanggung negara, kenaikannya dari 24.000 menjadi 42.000 dan dihitung per Agustus 2019. Secara hitungan, kenaikan tersebut mendekati 100%.

Netty mengaku, kenaikan iuran BPJS tanpa adanya proses pembenahan dan pemilahan data kepesertaan dapat dipastikan akan membebani masyarakat. “Beranikah BPJS menjamin bahwa seluruh peserta PBI itu memang orang yang berhak menerima? Sebaliknya, sekitar tiga puluh dua juta yang didata sebagai peserta mandiri, yang dikatagorikan sebagai Peserta Bukan Penerima Upah, yang 50%-nya menunggak iuran itu, benarkah memiliki kemampuan untuk membayar?” tanya Netty.

 

Netty berani mempertanyakan itu karena dalam pengalaman lapangannya sebagai Ketua Team Penggerak PKK Jawa Barat selama 10 tahun, dia banyak mengadvokasi kasus rakyat yang sakit dan tidak bisa mendapat layanan  BPJS karena menunggak iuran   sebagai peserta mandiri. “Bayangkan bagaimana seorang tukang gorengan yang istrinya jadi buruh cuci, anaknya tiga, harus membayar BPJS  lebih dari dua ratus ribu setiap bulan.

Halaman :


Editor : tantan