Ulama Poligami Diam-Diam, Mencoreng Wajah Syariat?

BELUM lama ini kita disuguhi berita heboh tentang tuntutan cerai dari istri seorang ustadz yang cukup sering tampil di layar kaca. Ia digugat cerai oleh sang istri yang sudah belasan tahun dinikahinya, alasannya sebab Ia berpoligami secara diam-diam. Usia pernikahannya dengan istri kedua sudah berjalan sekian tahun, bahkan sudah memiliki keturunan. Serba salah karena beliau dikenal sebagai tokoh agama yang mana kekisruhan rumahtangga menjadi sesuatu yang kurang elok bahkan bisa berimbas pada nilai yang didakwahkannya selama ini.

Ulama Poligami Diam-Diam, Mencoreng Wajah Syariat?
Ilustrasi/Net

BELUM lama ini kita disuguhi berita heboh tentang tuntutan cerai dari istri seorang ustadz yang cukup sering tampil di layar kaca. Ia digugat cerai oleh sang istri yang sudah belasan tahun dinikahinya, alasannya sebab Ia berpoligami secara diam-diam. Usia pernikahannya dengan istri kedua sudah berjalan sekian tahun, bahkan sudah memiliki keturunan. Serba salah karena beliau dikenal sebagai tokoh agama yang mana kekisruhan rumahtangga menjadi sesuatu yang kurang elok bahkan bisa berimbas pada nilai yang didakwahkannya selama ini.

Menjalankan kehidupan berumahtangga dengan melakukan poligami yang tanpa izin istri pertama pun sebenarnya sah saja, tapi bagaimana pun ada hal-hal yang perlu dijadikan renungan bagi pelaku atau mereka yang hendak berpoligami agar sunnah ini tidak mencoreng wajah syariat Islam, hanya karena kegagalan dirinya dalam menjalankannya.

1- Poligami itu memang dibolehkan, tetapi pria yang hendak berpoligami hendaknya mengukur dirinya; kemampuan membimbing, kemampuan menafkahi dan kemampuannya untuk adil. Jika masih satu saja istri dan anak-anak agamanya atau kehidupannya berantakan, maka poligami dalam keadaan ini berpotensi menambah masalah.

Baca Juga : Doa yang Harus Dibaca Saat Melihat Tetangga atau Kerabat Terpapar Covid-19

2- Izin istri pertama memang bukan syarat sah poligami, tetapi menikah lagi dengan diam-diam, atau tanpa memberitahukan di awal kepada istri pertama tentu akan sangat menyakitkan. Apapun yang terjadi, dengan memberitahukan terlebih dahulu, akan jauh lebih selamat untuk jangka panjang. Jika istri pertama menerima alhamdulillah, jika sebaliknya reaksinya diluar dugaan maka pertanda perlunya dikondisikan terlebih dahulu dengan menunda atau membatalkannya. Poligami diam-diam hampir pasti berdampak pada kebohongan dan ketidakadilan yang keduanya diharamkan.

3- Syariat poligami dibuat untuk kemaslahatan bukan untuk menghancurkan, maka jangan hanya melihat maslahat sendiri tetapi juga perhatikan kondisi istri dan anak-anak, pastikan mereka tetap baik-baik saja. Poligami ibarat membangun bangunan yang baik disamping bangunan yang kokoh dan berkualitas, bukan malah meruntuhkan dan mengacak-acak bangunan lainnya.

4- Sadarilah bahwa sebelum anak dan istri, maka sesungguhnya suami lah yang pertama merasakan konsekuensi dunia-akherat dari poligami; Waktu untuk beribadah mungkin tidak sebanyak jika dulu lagi (terutama jika rumah berjauhan), perhatian ke anak-anak akan berkurang karena terbagi, tanggungjawab menafkahi makin bertambah, tuntutan untuk membina dan mendidik istri makin bertambah, pertangungjawaban dan hisab di hadapan Allah makin banyak sebanyak anggota keluarga yang ada, dan sebagainya. Maka hendaknya diri kita yang mempertimbangkannya sehingga bias memutuskan dengan sadar mampu berjalan atau mengurungkan, bukan berdasarkan provokasi.

Baca Juga : Sunnah Indah Pasutri, Saling Memberi Hadiah dengan Ikhlas

5- Milikilah motivasi, alasan, dan prinsip yang baik, tulus, sekaligus kokoh yang lahir dari analisa kemampuan & kelayakan yang komprehensif. Hindari alibi dan alasan yang dibuat-buat karena selain menyakitkan juga jadi lucu. Misal alasan menyelamatkan akhwat yang ditinggal mati suaminya maka solusinya bisa dengan menikahkannya dengan ikhwan yang masih single dsb.

Halaman :


Editor : Bsafaat