Hukum Uang Muka (Panjar) dalam Islam

BIASANYA membeli dengan terlebih dahulu memberikan panjar atau uang muka terjadi pada transaksi kredit. Bagaimana tinjauannya dalam islam?

Hukum Uang Muka (Panjar) dalam Islam

Mereka menganggap bahwa ketidakjelasan yang ada bukanlah kejelasan yang membuat cacat transaksi. Alasan lain, pembeli jika ia memberi syarat khiyar untuk dirinya (memutuskan jadi atau tidaknya membeli) selama sehari atau dua hari, itu boleh. Maka, jual beli ‘urbun ketika disyaratkan oleh penjual, itu pun boleh.

Jika si pembeli misalnya mengembalikan barang setelah ia coba dahulu (dan ini dengan kesepakatan), bisa jadi harga barang tersebut jatuh, apalagi jika pembeli lain tahu. Maka si pembeli berinisiatif menutupi kekurangan tersebut dengan memberi sejumlah uang. Hal ini dibolehkan.

Intinya, dengan uang muka terdapat maslahat bagi si penjual dan pembeli. Pembeli dapat manfaat karena ia masih punya kesempatan untuk menimbang-nimbang pembelian barang tersebut jika ia pakai uang muka. Jika ia pakai uang muka, maka akad tersebut masih bisa ditimbang-timbang. Jika pembeli melunasi langsung, ia tidak bisa batalkan. Maka yang datang cuma penyesalan jika ia akhirnya tidak menyukai barang tersebut. Penjual pun mendapatkan keuntungan. Jika tidak terjadi kesepakatan, uang muka jadi miliknya untuk menutupi kekurangannya, juga untuk menahan pembeli agar tidak pergi begitu saja.

Baca Juga : Istri Selingkuh, Suami Sebaiknya Harus Bagaimana?

Kesimpulan

Pendapat terkuat dalam masalah ini, jual beli urbun atau uang muka, dibolehkan karena terdapat maslahat bagi penjual dan pembeli, serta bukan termasuk jahalah dalam jual beli. Dan besarnya uang muka di sini tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi.

Demikian kesimpulan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikrom bi Syarh Bulughil Marom, 9: 181-183.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam berkata, “Tidak mengapa memanfaatkan uang muka. Demikian pendapat yang tepat dari pendapat ulama yang ada jika telah ada kesepakatan antara penjual dan pembeli dalam hal itu ketika jual beli tidak terjadi.” (Fatawa lit Tijaar wal A’maal, hal. 49).


Editor : Bsafaat