Indonesia Kekurangan SDM Start up Game dan Aplikasi

INILAH, Bandung - Start up aplikasi dan game mulai menanjak di pasaran. Tapi tak berbanding lurus dengan jumlah Sumber Daya Manusia. 

Indonesia Kekurangan SDM Start up Game dan Aplikasi
Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Hari Sungkari? (kedua dari kanan)
INILAH, Bandung - Start up aplikasi dan game mulai menanjak di pasaran. Tapi tak berbanding lurus dengan jumlah Sumber Daya Manusia. 
 
Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Hari Sungkari‎ menuturkan saat ini terdapat kesenjangan cukup tinggi antara suplai SDM dari perguruan tinggi dengan kebutuhan industri di lapangan. 
 
Bukan hanya dari segi kuantitas, namun kualitas dari para lulusan Information Technology (IT) pun belum mampu memenuhi standar kebutuha pasar.
 
"Kita perlu sejuta programer‎, dan memang programer saat ini sedang banyak diminati. Sementara ada 4.800 sarjana IT, dan ga semua jadi programer. Kebutuhan di bidang teknologi dan suplai dari perguruan tinggi gapnya cukup tinggi," kata Hari di Hotel Papandayan, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Minggu (2/12).
 
Hari lantas mempertanyakan kompetensi kemampuan para sarjana IT yang dinilainya masih sangat minim. Dia mencontohkan, di sebuah platform bernama Dicoding memiliki jaringan sekitar 90 rib‎u developer IT, namun sebagiannya bukan berasal dari lulusan Teknologi Informasi.
 
"Saya dulu programmer, di dunia industri waktu nyari pegawai saya bilang ga penting nilai kalian, karena IPK itu knowledge dan yang dinilai bukan hanya pengetahuan tapi skill, dan skill hanya didapatkan dari pengalaman dan latihan,‎" ujarnya.
 
Hal senada juga diungkapkan oleh CEO Decoding, Narenda Wicaksono, dimana menurutnya saat ini Indonesia kesulitan mencari talenta berbakat di bidang IT.
Sehingga, lanjut dia, berdampak pada start up digital ‎yang sulit berkembang dan bersaing dengan industri dari luar negeri.
 
"Intinya thingking kurang, kita generasi banyak memories dan ngejar formalitas dan banyak pegang ijazah IT tapi ga punya kemampuan tinggi untuk coding digital, lulusan IT banyak tapi yang employeebel itu sedikit‎‎," kata Narenda.
 
Bagi Narenda hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut, lantaran industri digital akan terus tumbuh dengan sangat cepat.‎ Dia menyatakan kebutuhan akan SDM berkualitas jelas akan turut meningkat, namun justru bakal menjadi persoalan manakala talenta berbakat ini tak mampu terpenuhi.
 
‎"Market sangat gede, kalau masalah start up sekarang pendanaan banyak, akses banyak. Masalah utama digital di talenta di SDM, dan ini masalah cukup pelik," jelasnya.
 
Lebih lanjut Narena membeberkan bahwa di Indonesia ‎perguruan tinggi yang menyediakan jurusan IT sudah berjubel. Namun, sayangnya banyak faktor sehingga membuat kompetensi lulusannya kurang berkualitas.
 
"Di indonesia jurusan IT banyak dan kampus kadang latah, tapi yang lupa membentuk fundamental anak Indonesia untuk go digital. Untuk belajar it perlu basic matematika bagus, bukan sekadar 2 kali 3 sama dengan 6, tapi apa yang bisa kita lakukan dengan 2 kali 3," dia mengungkapkan.
 
Narenda berharap para perguruan tinggi jangan hanya mengedepankan formal‎itas mencetak lulusan secara tertulis saja. Tetapi diharapkan mampu memperhatikan kompetensi kemampuan para lulusannya.
 
"Kurikulum nya juga, saya tidak mau ikut campur urusan pendidikan, tapi kalau mau mahasiswa bisa coding ya minimal seharusnya dosennya juga dong harus bisa,"‎ pungkasnya.


Editor : inilahkoran