Menkumham: Pasal Penghinaan Presiden Penegas Batas Masyarakat Beradab

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan tentang pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RKUHP.

Menkumham: Pasal Penghinaan Presiden Penegas Batas Masyarakat Beradab
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly. (antara)

INILAH, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bukan membatasi kritik, melainkan penegas batas masyarakat sebagai bangsa yang beradab.

"Setiap orang memiliki hak hukum untuk melindungi harkat dan martabatnya," kata Menkumham Yasonna melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.

Jika seorang individu dihina oleh seseorang, kata dia, yang dihina punya hak secara hukum untuk harkat dan martabatnya.

Baca Juga : Terungkap, Vendor Bansos Sebut Diminta Beli Tas PT Sritex

"Bukan sebagai pejabat publik. Saya selalu mengatakan kalau saya dikritik Menkumham tak becus, misalnya mengurus lapas atau imigrasi, tidak masalah dengan saya. Akan tetpi, kalau sekali menyerang harkat dan martabat saya, contoh saya dikatakan anak haram jadah, tidak bisa itu," ujarnya.

Oleh karena itu, sebagai bangsa yang beradab perlu ada batasan-batasan yang harus dijaga oleh setiap orang. Pasal penghinaan presiden/wapres yang diatur dalam RKUHP tersebut sama sekali tak berniat membatasi kritik.

Ia menekankan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia membuka ruang atas kritik dari masyarakat.

Baca Juga : Warga Minta Ada Tim Survei Lapangan Terkait Pendaftaran Fakir Miskin

"Bukan berarti mengkritik presiden salah. Kritiklah kebijakannya dengan sehebat-hebatnya kritik, tidak apa-apa. Bila perlu, kalau tidak puas, mekanisme konstitusional juga tersedia," kata Yasonna.

Halaman :


Editor : suroprapanca