Pendidikan Islam Kontekstual Bagi Gen Z: Sebuah Solusi Masalah Kesehatan Mental Masa Kini

Ada asumsi yang cukup luas bahwa generasi masa kini dianggap “kurang tangguh” jika dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.

Pendidikan Islam Kontekstual Bagi Gen Z: Sebuah Solusi Masalah Kesehatan Mental Masa Kini
Usman el-Qurtuby (E. Kusman), Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Nusantara Presiden Direktur Quran Cordoba.

Dengan demikian, masalah gangguan kesehatan mental ini memiliki korelasi juga terhadap masalah pengembangan diri siswa. Ketika mentalnya terbangun dengan baik, siswa memiliki potensi untuk lebih baik dalam pengembangan dirinya. Sebaliknya, jika mentalnya buruk maka buruk pula potensinya untuk mengembangkan diri. Oleh karena itu, dalam konteks ini pula pendidikan Islam memiliki tanggung jawab lebih sebab sebagaimana definisi Abdurrahman Al-Nahlawi  yang menyatakan bahwa pendidikan dimaknai sebagai usaha pengembangan seluruh potensi manusia, yakni dengan mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan (al-insan al-kamil) (Al-Nahlawi, 1979).

Dalam konteks ini, pendidikan Islam memiliki peran penting sebagai promotor aktif dalam upaya preventif terhadap persoalan kesehatan mental. Terlepas dari isu mental health ini yang acap kali dijadikan tameng “nir produktivitas”—leha-leha, malas-malasan dan sejenisnya, remaja dengan segala problematika eksistensialnya perlu ditemani dan diarahkan. Pada posisi inilah pendidikan Islam perlu hadir secara proaktif, sistem pendidikan perlu meng-cover segala kebutuhan upaya mewujudkan Gen Z yang mentalnya sehat dan mampu mengembangkan dan menyesuaikan diri di tengah kemajuan zaman yang begitu cepat ini.

Pendidikan Islam Bagi Gen Z: Revitalisasi dan Kontekstualisasi

Jika ditelaah dari penyebab gangguan mental ini terjadi, salah satu aspek yang paling banyak mempengaruhi adalah problem eksistensial Gen Z. Mereka butuh didengar, butuh arahan, butuh bimbingan, butuh tempat bersandar dan pulang dari segala macam permasalahannya. Dalam hal ini, Islam sebagai agama yang juga sangat concern terhadap masalah jiwa dan ruhani memiliki peranan potensial. Islam seharusnya dapat menjadi landasan serta arah hidup setiap individu Gen Z, pun menjadi tempat bersandar dari segala persoalan.

Demikian pula berarti bahwa jika agama Islam cenderung “gagal” menjadi way of life Gen Z maka ini merupakan kegagalan dari proses pendidikan Islam—sebagai jalan memahami Islam. Kegagalan ini jika merujuk tesis Abuddin Nata pada dasarnya terletak pada pergeseran nilai pendidikan Islam dan kekeliruan dalam proses pembelajarannya. Nata menyinggung bahwa seharusnya pembelajaran agama Islam hendaknya tidak hanya berhenti pada ranah kognitif saja yang kering nuansa ruhaninya, melainkan ditekankan pada pemahaman, penghayatan dan pengamalan (Nata, 2022).

Untuk mewujudkan pembelajaran tersebut, salah satu model yang relevan adalah pembelajaran kontekstual. Model kontekstual ini perlu diterapkan pada setiap mata pelajaran keislaman. Tujuannya adalah agar siswa lebih memahami ajaran agama Islam karena penjelasannya lebih mengena dan dekat dengan kehidupannya. Artinya, ajaran Islam tidak hanya berhenti secara dogmatis saja, namun juga dapat dihayati secara alami. Akhirnya, siswa—dalam hal ini Gen Z—akan melihat bagaimana sejatinya Islam itu dekat dan menjadi solusi bagi setiap persoalannya.

Adapun sebagai langkah pencegahan aktif dan berkelanjutan, penulis melihat setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan pendidikan Islam. Pertama, optimalisasi layanan kesehatan mental berbasis madrasah. Upaya ini berarti bahwa lembaga pendidikan Islam, khususnya madrasah, perlu menghadirkan layanan yang secara aktif siap dan tanggap dalam memitigasi persoalan kesehatan mental. Artinya, dalam hal ini guru Agama Islam dan guru Bimbingan Konseling (BK) memegang peranan penting. Keduanya perlu bersinergi dalam menjalankan segala proses layanan kesehatan mental.


Editor : tantan