Sikap Kami: Selamat Pagi Profesor

JADI profesor itu susah-susah gampang. Tapi, lebih berat adalah setelah jadi profesor. Kalau tak membawa manfaat, apa gunanya jadi profesor?

Sikap Kami: Selamat Pagi Profesor

JADI profesor itu susah-susah gampang. Tapi, lebih berat adalah setelah jadi profesor. Kalau tak membawa manfaat, apa gunanya jadi profesor?

Betapa mudahnya jadi profesor terlihat pada pengamat Rocky Gerung. Tak perlu proses akademik yang rumit-rumit, tiba-tiba saja orang menyebutnya sebagai profesor. Padahal, konon pendidikan akademisnya cukup sampai sarjana strata 1.

Siapa yang memberinya gelar profesor? Jelas bukan kampus-kampus. Gelar profesornya muncul begitu saja. Bisa jadi, karena kelincahan nalarnya dalam berbagai debat di sejumlah acara televisi.

Baca Juga : Sikap Kami: Bismillah, Komisaris BUMN

Betapapun dia sudah membantah gelar profesor, toh sebagian orang tetap saja menyebutnya profesor. Sampai seorang profesor, yang bekerja untuk pemerintah, dalam sebuah debat, bilang: “Kalau saya profesor beneran, Anda belum tentu.”

Bahkan jadi profesor pun kini tak perlu menuntaskan pendidikan di perguruan tinggi. Sebab, ada gelar profesor kehormatan. Profesor honoris causa. Sesuatu yang sangat jarang, bahkan mungkin belum pernah ada di negeri ini, sampai hari ini. Maka, catatlah hari ini sebagai hari yang bersejarah.

Begitu berartikah gelar profesor? Mungkin berarti. Tapi, bukan berarti segala-galanya. Sebab, di dalam gelar itu ada tanggung jawab yang besar. Jadi, rasanya orang yang berkompeten dan bisa menghadirkan pengaruh positif sungguh-sungguh yang layak mendapatkannya.

Baca Juga : Sikap Kami: Boleh Saja 3 Periode, Tapi…?

Karena beban berat itulah, seorang Effendi Gazali melepaskan gelar profesor sekaligus jabatan guru besarnya. Sebab apa? Dia mengaku gagal memberi manfaat penuh dengan gelarnya itu.

Halaman :


Editor : Zulfirman