Takdir Allah Selalu Lebih Indah dan Terbaik

"KITA tetap bisa melanjutkan hubungan ini ke tahap yang lebih serius Ris, tapi kalau kamu mau memeluk keyakinan yang aku anut. Dan kamu tahu alasan aku gak bisa memeluk muslim."

Takdir Allah Selalu Lebih Indah dan Terbaik
Ilustrasi/Net

Sudahlah, itu hanya masa lalu terindah bersama cinta pertama ku, Ido. Kini aku punya jalan hidup baru yang harus kulalui, begitu juga Ido. Perpisahanku dengan Ido, membuatku lebih betah sendiri, tidak terasa dua tahun sudah aku menyendiri. Tapi tidak dengan keluargaku, mereka menuntutku untuk segera mencari pendamping hidup.

Usiaku 24 tahun, saat pamanku mengenalkanku pada Mas Fajar. Lelaki 12 tahun lebih tua dariku, seorang kepala HRD di sebuah perusahaan garmen di Solo dan belum menikah. Perkenalan itu berlanjut menjadi pertemuan-pertemuan santai antara aku dan Mas Fajar. Dia pria dewasa yang menyenangkan, dan aku nyaman bersamanya. Mungkin aku mulai jatuh hati dengan sosok dewasa ini.

Selain Ido, Mas Fajar memberiku kenyamanan yang tidak kutemukan saat bersama Ido, ya kenyamanan spiritual. Mas Fajar memang pria dewasa dengan kepribadian yang luar biasa, selama enam bulan perkenalan kami, dia selalu berusaha mengajakku untuk semakin mendekati diri dengan Allah swt, selalu mengingatkan untuk melengkapi lima waktuku, puasa sunah Senin-Kamis, sedekah, dan tidak pernah absen membangunkanku via sms atau telepon untuk mendirikan dua rakaat malamku.

Baca Juga : Jijik dengan Kencing Unta Meski Berkhasiat

Semua hal sederhana ini yang membuat rasa sayang itu kian hari kian tumbuh. Hingga akhirnya aku menerima lamaran Mas Fajar, dan kami menikah. Setelah menikah, aku hidup bersama Mas Fajar, suamiku di kota Solo. Saat itu aku belum mengetahui satu rahasia yang Mas Fajar simpan rapi dariku.

Alhamdulillah, Allah menitipkan calon malaikat kecil di rahimku, usianya sudah tiga bulan dan Mas Fajar belum tahu tentang calon anaknya ini. Dan kehadiran calon anakku ini juga yang telah membuka rahasia suamiku selama ini. Siang itu, aku memeriksakan kandunganku ke rumah sakit. Tanpa ditemani Mas Fajar, karena ia sedang tugas ke luar kota, katanya.

Selama memeriksakan kandungan itu, tidak ada kabar dari Mas Fajar. Aku berharap dia menghubungiku, dan aku takut mengganggu kesibukannya kalau aku menghubunginya. Tapi siang itu, saat aku keluar dari ruangan dokter Yessi, dokter kandunganku, aku melihat sosok seperti Mas Fajar. Bukan hanya seperti, tapi itu memang Mas Fajar, suamiku.

Dari kejauhan ku lihat tubuh Mas Fajar terbaring di tempat tidur dorong ditemani beberapa perawat dan seorang dokter. Mereka semua masuk ke ruangan yang tak ku tahu jelas namanya, tapi dari perawat yang sedang lewat dihadapan ku, ku tahu itu ruangan cuci darah. Aku bingung. Yaa Allah, ada apa dengan suamiku? Mengapa masuk ruang itu? Adakah yang ia sembunyikan dari ku, istrinya.


Editor : Bsafaat