Dampak Musim Hujan, Petani Sayuran Lembang Mengeluh Borosnya Penggunaan Pestisida

Di tengah musim penghujan yang diprediksi terjadi pada September hingga November 2022 berdampak pada peningkatan pemakaian obat-obat pertanian, seperti pestisida.

Dampak Musim Hujan, Petani Sayuran Lembang Mengeluh Borosnya Penggunaan Pestisida
Di tengah musim penghujan yang diprediksi terjadi pada September hingga November 2022 berdampak pada peningkatan pemakaian obat-obat pertanian, seperti pestisida./Agus Satia Negara
INILAHKORAN, Ngamprah - Di tengah musim penghujan yang diprediksi terjadi pada September hingga November 2022 berdampak pada peningkatan pemakaian obat-obat pertanian, seperti pestisida.
Pasalnya, dalam kurun waktu satu minggu para petani melakukan penyemprotan pestisida hanya satu kali. Namun, pada musim hujan seperti ini penyemprotan bisa dilakukan dua kali dalam satu minggu.
Petani sayuran asal Kampung Cikawari, Desa Wangunharja, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Asep Suherli mengatakan, kondisi tersebut terjadi lantaran saat tanaman disemprot dengan pestisida dan obat-obatan, kemudian terjadi hujan  tanaman yang sudah disemprot busa kembali terbilas kembali.
Padahal, sambung dia, pemakaian pestisida dan obat-obatan pada musim hujan sangat dibutuhkan. Sebab, kerap bermunculan hama tanaman salah satunya ulat yang menyerang bagian daun.
"Yang paling rawan adalah tanaman tomat. Biasanya kalau tiap hari diguyur hujan, bagian daunnya rusak. Jika dibiarkan bakal berpengaruh pada buah tomatnya," katanya kepada wartawan.
Ia menuturkan, dahulu petani sayuran di Lembang banyak yang mengalami kerugian akibat tanaman miliknya setiap hari diguyur hujan. 
Menurutnya, bagi petani tomat yang lahan tanamnya luas bisa menderita  kerugian belasan hingga puluhan juta.
"Sekarang petani sudah pintar, perkiraan musimnya tidak terlalu meleset. Sehingga 
jika akan memasuki musim hujan tak menanam tanaman yang rentan busuk dan mudah diserang hama," tuturnya.
"Seperti yang saya lakukan sekarang, memilih menanam brokoli yang relatif lebih tahan," sambungnya.
Sementara itu, petani asal Kampung/Desa Kertawangi, Kecamatan Parongpong, Koko Komarudin menyebut, sayuran yang ditanam pada lahan terbuka sangat rentan mengalami busuk daun. 
Namun, sambung dia, berbeda dengan sayuran yang ditanam dalam green house lebih aman. Menurutnya, kondisi tersebut membuat hasil panen petani  tidak maksimal  karena banyak yang daunnya busuk.
"Rugi sih tidak,  karena tertolong oleh harga brokoli yang sekarang masih lumayan," katanya.
Ia menjelaskan, saat inu harga brokoli untuk dijual ke pasar sekitar Rp 6.000 per kilogram, sementara brokoli yang dijual dengan  daunnya Rp 5.000 per kilogram. 
"Lain halnya untuk harga ke supermarket bisa mencapai Rp 15.000 per buah. Sebab, harga supermarket tidak dihitung per kilogram. Tapi per butir atau per buah, hanya ukurannya harus sama," jelasnya.
Ia menambahkan, guna meminimalisir busuk daun, dirinya  menyiasati kondisi tersebut dengan memakai obat-obatan seperti antrakol.
"Paling dosis pemakaiannya ditambah, itu pun memang tak bisa mencegah busuk daun. Paling tidak enggak sampai menyerang semua bagian tanaman," tandasnya.*** (agus satia negara).


Editor : JakaPermana