Hidroponik, Aktivitas Bertani di Lahan Terbatas

Bantar Gebang bukanlah nama asing bagi masyarakat Jakarta karena di tempat itu berada Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang menjadi tujuan akhir dari sampah para penduduk ibu kota.

Hidroponik, Aktivitas Bertani di Lahan Terbatas
Ilustrasi/Antara Foto

Penanaman tanpa tanah yang sudah ada bukanlah hal yang terlalu baru. Suku Aztec yang merupakan penduduk asli benua Amerika sudah terlebih dahulu mempraktikkan tenik pertanian tanpa media tanah asli dengan membangun Chinampa yaitu pulau buatan di atas danau air tawar atau seperti taman terapung.

Suku kuno itu membangun petak-petak yang dipasang di dasar danau dan menjalin pagar di antara tiang-tiang tersebut. Area itu kemudian dipenuhi oleh lumpur kaya nutrisi dan dedaunan.

Namun, penelitian formal dan publikasi resmi tentang hidroponik baru dimulai pada abad ke-17 ketika Francis Bacon yang merupakan peneliti terkenal dari Inggris memulai penelitian tentang perkebunan tanpa tanah pada sekitar tahun 1620-an. Hasil penelitiannya sendiri dipublikasi setelah dia tiada pada 1627.

Setelah itu pada 1699, John Woodward menerbitkan hasil penelitiannya dengan menanam spearmint dengan budidaya memakai beberapa jenis air.

Pada 1929, William Gericke dari Universitas California di Berkeley, Amerika Serikat mulai mempromosikan hidroponik untuk pertanian komersial, menggunakan proses yang disebutnya sebagai aquaculture atau budidaya perairan. Namun istilah itu diubah karena aquaculture sudah digunakan untuk studi tentang organisme air.

Dua peneliti dari Berkeley, Dennis Hoagland and Daniel Arnon kemudian mengembangkan studi William Gericke dan pada 1938 menerbitkan "The Water Culture Method for Growing Plants Without Soil" yang fokus tentang metode budidaya air untuk menumbuhkan tanaman tanpa tanah.

Gericke kemudian juga mempublikasikan tulisan berjudul "Complete Guide to Soilless Gardening" pada 1940 yang membahas secara lengkap teknik, media, nustrisi dan langkah-langkah melakukan hidroponik.


Editor : Bsafaat