Menemani Anak Menempuh Masa Pubertas

DALAM terminologi fikih Islam, masa pubertas dikenal dengan fase balig. Istilah balig sering digandengkan dengan kata akil, sehingga dikenal akil balig. 

Menemani Anak Menempuh Masa Pubertas
Ilustrasi/Net

Mengantarkan anak memasuki masa balig tidaklah instan. Upaya ini merupakan proses panjang yang menyatu dan berbarengan dengan tumbuh-kembang anak sehingga harus dimulai sejak fase awal perkembangan anak.

Untuk itu orang tua harus banyak berperan, yakni:

Pertama: Memberikan pemahaman tentang hakikat penciptaan manusia. Orangtua berkewajiban untuk membantu anak mengenali siapa dirinya. Dia adalah makhluk Allah, yang sebelumnya tidak ada. Dia diciptakan oleh Allah dengan dinugerahi berbagai kenikmatan. Dia mengemban misi kehidupan untuk beribadah kepada Penciptanya (QS al-Baqarah [2]: 28; adz Dzariyat [51]: 56).

Baca Juga : Salat Sunat dan Pakaian Seksi untuk Berhubungan

Orangtua juga harus menjelaskan bahwa kehidupan di dunia ini tidak kekal. Semua manusia memiliki batas akhir kehidupannya (ajal). Suatu saat dia akan kembali kepada Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan semua yang sudah dilakukan di dunia. Karena itu, kita harus beriman kepada Allah dan menaati seluruh aturannya(QS al-Baqarah [2]: 21, 22, 25, 28, 29).

Target dari proses ini adalah anak paham (bukan hanya sekadar tahu) bahwa keterikatan dia pada aturan Allah adalah wujud dari keimanan dan bukti rasa syukur atas anugerah yang telah Dia berikan. Anak melakukan apapun perintah Allah dengan sukarela dan jauh dari keterpaksaan

Kedua: Mengajari anak tentang hukum-hukum syariah sehingga mereka terikat dengan aturan Allah SWT. Beberapa hukum syariah yang mesti dikenalkan pada mereka antara lain: batasan aurat, konsep pergaulan, ibadah mahdhah, seputar thaharah, dll. Kita harus menjauhkan pemahaman Barat bahwa remaja harus diberi kebebasan dan toleransi karena mereka sedang mencari identitas diri.

Ketiga: Membangun pola komunikasi dan hubungan yang harmonis antara orangtua dan anak. Keberhasilan menanamkan pemahaman bergantung pada keberlangsungan komunikasi yang baik antara orangtua dan anak. Tak sedikit orangtua merasa sulit berkomunikasi dengan anak remaja. Akibatnya, apa yang disampaikan kepada anak tidak dipahami anak, diterima dengan persepsi yang salah, atau mungkin malah menyebabkan gap dengan anak. Komunikasi yang baik harus dilandasi rasa cinta kasih dan merupakan wujud tanggung jawab orangtua atas amanah yang telah Allah berikan kepada mereka; bukan komunikasi yang didasari perasaan berat, kesal, apalagi dipenuhi kebencian. Komunikasi demikian akan melahirkan sikap sayang, percaya, hormat, dan taat pada diri anak kepada orangtuanya.


Editor : Bsafaat