Benarkah Ada Fiqih Waria, Fiqih LGBT?

Maraknya LGBT saat ini juga memunculkan wacana tentang fiqih waria, yang konon telah dibahas oleh para fuqaha. Apa sebenarnya yang dibahas oleh para fuqaha tentang fiqih waria ini? Benarkah mereka melegalkan waria?

Benarkah Ada Fiqih Waria, Fiqih LGBT?
ilustrasi/net

Maraknya LGBT saat ini juga memunculkan wacana tentang fiqih waria, yang konon telah dibahas oleh para fuqaha. Apa sebenarnya yang dibahas oleh para fuqaha tentang fiqih waria ini? Benarkah mereka melegalkan waria?

Para fuqaha memang telah membahas pembahasan khusus tentang khunts [hermaprodit]. Secara harfiah, khunts diambil dari lafadz khunts, yang berarti lembut [layyin]. Jika disebut, khanatstu as-syaia fatakhannatsa, maksudnya athiftu fa taatthafa [aku bersikap lembut kepadanya, sehingga dia menjadi lembut].

Dalam Mujam Lughat al-Fuqaha, Prof. Dr. Rawwas Qalahji menyatakan:

Baca Juga : Alasan Dikhususkannya Salat Subuh dan Ashar

."Orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki, dan alat kelamin perempuan. Atau orang yang kencing melalui saluran, dimana dia tidak mempunyai alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan."

Sedangkan istilah Mukhannats, digunakan untuk menyebut orang yang menyerupai wanita dalam hal kelemahlembutan, ucapan, pandangan, gerak-gerik, dan sebagainya. Biasanya mereka dilahirkan sebagai laki-laki, namun mempunyai beberapa karakter seperti perempuan. Ada juga yang memang lahir sebagi laki-laki, dan karakternya pun laki-laki, tetapi berpenampilan seperti perempuan. Mereka inilah yang disebut oleh Nabi sebagai mukhannatsna min ar-rijl [laki-laki yang bergaya perempuan].

Karena itu, fakta khunts dalam konteks ini harus dibedakan menjadi dua. Pertama, khunts, yang benar-benar diciptakan dengan kelamin ganda, atau sama sekali tidak mempunyai alat kelamin. Kedua, laki-laki yang diciptakan dengan kelamin laki-laki, tetapi bergaya seperti dan atau menjadi perempuan. Inilah yang disebut mukhannatsna min ar-rijl.

Baca Juga : 18 Cara Supaya Selalu Bangun dan Salat Tahajud

Dua fakta ini sama-sama dibahas dalam kitab fikih. Mengenai fakta mukhannatsna min ar-rijl, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih tentang status keharamannya. Karena, Nabi saw. dengan tegas menyatakan:

Halaman :


Editor : Bsafaat