Sikap Kami: Tentang Ikan Asin

MARI bicara soal ikan asin. Ini soal ikan yang oleh sebagian kalangan disepelekan, tapi justru diburu. Ikan yang sempat diributkan karena impor dan ekspornya.

Sikap Kami: Tentang Ikan Asin

MARI bicara soal ikan asin. Ini soal ikan yang oleh sebagian kalangan disepelekan, tapi justru diburu. Ikan yang sempat diributkan karena impor dan ekspornya.

Ikan asin penting juga dibicarakan karena sekarang sudah jauh dari musim penghujan. Matahari sudah muncul setiap hari, nyaris tanpa rintangan. Bagi pengrajin ikan asin, kondisi seperti itu yang diharapkan.

Ikan asin adalah gantungan hidup sebagian dari warga kita. Terutama di daerah-daerah sekitar pantai utara di Jawa Barat. Daerah seperti Indramayu dan Cirebon termasuk salah satu penyuplai ikan asin di level nasional, bahkan pasar ekspor.

Ikan asin mungkin memunculkan bau yang tak sedap bagi sebagian orang. Tapi, bagi kebanyakan nelayan dan pengrajin, ikan asin itu wangi. Malah jadi sumber penghidupan.

Bahkan, juga sumber pendapatan bagi negara. Tak percaya? Ini memang data lama, tapi rasanya masih berkorelasi dengan situasi saat ini. Tahun 2010, negeri ini mengimpor ikan asin senilai US$138.169 atau seberat 34.351 kilogram. Bukan untuk dikonsumsi sendiri, melainkan diolah menjadi ikan olahan kering asin dan diekspor kembali. Nilainya? Tahun yang sama mencapai US$19 juta. Dahsyat bukan? Kata Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga kini surplusnya masih jauh lebih besar.

Maka, sudah sepatutnya pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap pengrajin-pengrajin ikan asin ini. Mereka, dalam level terendah, adalah pengrajin tradisional yang hanya mengandalkan sinar matahari, belum tersentuh teknologi. Padahal, potensi mereka sebenarnya tinggi.

Kenapa kita berpandangan seperti itu? Karena memang mereka berada jauh di ruang-ruang yang tersentuh modernisasi. Mereka belum tersentuh teknologi. Modal pun, siapa tahu, masih banyak yang meminjam kepada tengkulak-tengkulak.

Halaman :


Editor : Zulfirman