Membangun Keluarga dari Perbuatan Maksiat

APA yang bisa Anda bayangkan, ketika suami pertama wanita adalah anda? Istri anda didekati lelaki lain, hingga dia pun jatuh cinta kepadanya dan berusaha meminta anda untuk menceraikannya, agar bisa menikah dengan lelaki itu. Tentu anda akan sakit hati dan marah kepada lelaki itu.

Membangun Keluarga dari Perbuatan Maksiat

Dan semua pernikahan yang diawali dengan cara yang batil, hasilnya juga kebatilan. Atas dasar ini, sebagian ulama memutuskan bahwa ketika terjadi perpisahan dalam keluarga, sehingga si istri bersemangat untuk minta cerai disebabkan kehadiran lelaki baru, maka mereka dipisahkan selamanya. Dihukum dengan keputusan yang berkebalikan dengan harapan dan keinginannya.

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

Sebagian ulama menegaskan dengan memberikan putusan paling susah untuknya dan melarangnya. Sampai Malikiyah mengatakan, bahwa wanita yang berpisah ini diharamkan untuk menikah dengan lelaki yang menjadi penyebab kerusakan rumah tangganya, diharamkan untuk selamanya. Sebagai hukuman baginya, dengan kebalikan dari apa yang dia inginkan. Agar semacam ini tidak menjadi celah bagi masyarakat untuk merusak hubungan para wanita (dengan suaminya). (al-Mausuah al-Fiqhiyah, 5/251).

Baca Juga : Hukum Menjual Daging, Kulit, dan lainnya

Dalam pernyataan lain, juga di Ensiklopedi Fiqh: Mereka ulama Malikiyah menyebutkan bahwa nikahnya dibatalkan, baik sebelum berhubungan maupun sesudah berhubungan, tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan mereka. Namun yang menjadi perbedaan adalah apakah lelaki pelaku takhbib itu diharamkan untuk menikahi wanita selamanya ataukah tidak sampai selamanya.

Mereka menyebutkan adanya dua pendapat:

Pertama, dan ini yang lebih terkenal, bahwa mereka dipisahkan tapi tidak selamanya. Jika si wanita kembali kepada suami pertama, kemudian diceraikan oleh suami pertama atau suami pertama meninggal, maka si lelaki kedua ini boleh menikahi wanita itu.

Kedua, mereka diharamkan menikah selamanya. Diantara yang menyatakan pendapat ini adalah Yusuf bin Umar, seperti yang disebutkan dalam Syarh az-Zarqani, dan ini yang difatwakan beberapa ulama kontempporer di daerah Fez Maroko. (al-Mausuah al-Fiqhiyah, 11/20).


Editor : Bsafaat