Menangislah, Bunga!

BETAPA indahnya bunga. William Shakespeare menggunakan bunga –tepatnya mawar—sebagai simbolisasi Juliet. “Katakan dengan bunga,” ungkap Major Patrick O’Keefe, pioner praktisi periklanan modern pada 1917, 17 tahun sebelum dia meninggal.

Menangislah, Bunga!

BETAPA indahnya bunga. William Shakespeare menggunakan bunga –tepatnya mawar—sebagai simbolisasi Juliet. “Katakan dengan bunga,” ungkap Major Patrick O’Keefe, pioner praktisi periklanan modern pada 1917, 17 tahun sebelum dia meninggal.

Bunga adalah simbol keindahan sejati. Cantik mewangi. Disukai nyaris semua orang. “Dengan mengirim bunga, itu sudah berarti segalanya,” kata O’Keefe. Tentu, segala yang baik-baik, yang cantik dan mewangi.

Beruntung Shkaespeare atau O’Keefe hidup pada zamannya. Bukan pada era disrupsi seperti sekarang. Sebab, di tengah keriuhan seperti sekarang, bunga tak lagi sekadar lambang keindahan. Dia, pada sisi lain, menjelma menjadi simbolasi kebencian.

Jangan pikir orang yang mengirim bunga sekarang semuanya perlambang kecintaan. Di balik kecintaan yang berlebihan itu, terselip pula rasa kebencian yang gampang terlihat dengan kasat mata. Dan, itu ada di depan mata kepala kita sendiri. Di tanah gemah ripah loh jinawi.

Bunga bukan lagi sesuatu yang diperlakukan secara tulus –sebagaimana hakikat cinta sesungguhnya. Dia, secara tak langsung, adalah perlambang kedengkian yang berlebihan.

Apa yang membuat orang berduyun-duyun mengirim karangan bunga ke kantor aparat negara belum lama ini? Rasa-rasanya bukan semata karena cinta, melainkan lebih atas kebencian terhadap orang yang berbeda sikap.

Baca Juga : Sikap Kami: Wahai Pemimpin Negeri

Kalau karena cinta kasih yang tulus, maka tak ada yang menyembunyikan identitas, apalagi melengkapinya dengan ucapan-ucapan tak elok. Kalau cinta tulus, cukup kirim seikat kembang, bukan belasan karangan bunga dengan nama pengirim berbeda, apalagi sampai tak membayar semestinya pedagang bunga.

Halaman :


Editor : Ghiok Riswoto