MLM, Benarkah Haram?

Ada pertanyaan seputar hokum bisnis multi level marketing (MLM). Berikut ini kami kutipkan jawaban yang diberikan Ustadz Wahyudi Abu Syamil Ramadhan.

MLM, Benarkah Haram?
Ilustrasi/Net

Ada pertanyaan seputar hokum bisnis multi level marketing (MLM). Berikut ini kami kutipkan jawaban yang diberikan Ustadz Wahyudi Abu Syamil Ramadhan.

  1. Mengenai Buku yang berjudul "Siapa bilang MLM haram" buku ini menurut salah seorang teman dijadikan pembenaran akan mubahnya MLM. Maka tanggapan kami: mungkin orang yang menjadikan pembenaran berdasarkan buku tersebut belum membaca keseluruhan buku tersebut. Setelah kami mengkaji buku tersebut secara seksama ternyata kesimpulan penulis menyatakan bahwa MLM hukumnya haram. Hal ini diperkuat oleh fatwaal-lajnah ad-daimah lil buhust wal ifta (semacam MUI di Arab Saudi)
  2. Mengenai dua akad. Maka akad ini dapat berupa:
    1. Apabila disyaratkan bahwa bonus (baik bonus penjualan produk maupun rekrutmen) hanya dicairkan apabila membeli sejumlah produk. Istilah ini sering disebut tutup point.
    2. Apabila pembelian produk menjadi syarat diterimanya seseorang sebagai member (istilah fiqihnya simsar).
    3. Apabila disyaratkan bahwa seseorang dapat membeli produk dengan syarat harus menjadi member dulu
  3. Mengenai dalil haramnyasamsarah ala samsarah(mekelar bertingkat). Allah SWT berfirman:"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.(An-Nisaa:29).

Ayat ini berisi larangan untuk memakan/mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syara. Keumuman ayat ini akan tidak berlaku apabila ada dalil khusus yang mentakhshisnya. Kaidah fiqh menyatakan"al am yabqa fi umumihi malam yarid dalilun yukhashishu bihi"sesuatu yang umum akan tetap dalam keumumannya sebelum datang dalil yang mengkhususkannya. Apabila terdapat dalil yang mengkhususkannya maka dalil tersebut tidak dapat dipakai untuk konteks yang dikhususkan akan tetapi tetap berlaku untuk perkara yang diluar yang dikhususkan.

Diantara dalil yang mengkhususkan adalah tentang kebolehan samsarah (perdagangan perantara).

Baca Juga : Kebaikan Allah Saja Ia Ingkari Apalagi Kebaikanku

Ahmad meriwayatkan dari Qais bin Abu Gharazah Al-Kinani, dia berkata: Kami dulu berdagang muatan di Madinah. Dan kami dulu dinamai para makelar (simsar). Lalu Rasulullah saw. datang kepada kami dan menamai kami dengan nama yang lebih baik dari nama yang kami berikan sendiri. Beliau berkata: "Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini disertai omong kosong dan sumpah. Maka campurilah dia dengan sedekah."

Dari pengakuan Rasul saw. terhadap pekerjaan para makelar dan perkataan beliau kepada mereka: "Wahai para pedagang", menjadi jelas bolehnya pekerjaan makelar dan bahwa itu adalah bagian dari perdagangan. Ini adalah dalil bahwa pekerjaan makelar halal secara syari dan merupakan salah satu dari trasanksi yang boleh dalam syara.

Katasimsarartinya adalah orang mengurusi dan menjaga sesuatu. Lalu kata ini digunakan untuk menunjuk orang menangani penjualan atau pembelian. Fuqaha telah mendefinisikansimsarsebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan upah tertentu untuk melakukan penjualan dan pembelian. Definisi ini berlaku juga bagi juru lelang (dallal).[1]demikian pula syaikh atho abu rasytah menyatakan:samsarahitu berada di antara penjual dan orang-orang yang diajaknya sebagai pelanggan[2]

Baca Juga : Main Ponsel Kok di Sarang Jin, Hati-hati Ah....

Dengan menelaah fakta samsarah pada masa Nabi saw dan definisi yang disampaikan fuqaha di atas maka kami menyimpulkan bahwa samsarah yang diakui/dibolehkan Nabi adalah samsarah satu level. Fakta dan dalil inilah yang mengkhususkan ayat di atas.

Halaman :


Editor : Bsafaat