Sikap Kami: Persekongkolan Busuk Tiga Periode

PERLUKAH Undang-Undang Dasar 1945 kembali diamandemen secara terbatas? Persoalannya bukan pada amandemen, tapi bagaimana kesetiaan kita terhadap kesepakatan-kesepakatan yang dicapai pada perbaikan terbatas itu.

Sikap Kami: Persekongkolan Busuk Tiga Periode

PERLUKAH Undang-Undang Dasar 1945 kembali diamandemen secara terbatas? Persoalannya bukan pada amandemen, tapi bagaimana kesetiaan kita terhadap kesepakatan-kesepakatan yang dicapai pada perbaikan terbatas itu.

Jika kita setia pada maksud dan tujuan proses amandemen, maka hasilnya juga hampa belaka. Bisa jadi, wacana amandemen itu tak lebih daripada sekadar mempermulus jalan elit negeri, tapi tak berarti apa-apa buat rakyat.

Wacana amandemen UUD 1945 itu mencuat kembali seiring dengan beredarnya suara-suara yang menginginkan periodesasi presiden bisa sampai tiga kali. Hal itu hanya bisa dilakukan jika ada amandemen terbatas terhadap konstitusi negara. UUD 1945, selama ini, menentukan seseorang hanya boleh dua kali berturut-turut menjadi presiden.

Baca Juga : Sikap Kami: Peradilan HRS, Ada Apa?

Wacana yang kemudian didukung sejumlah politisi di Senayan itu bisa kita katakan menyalahi UUD 1945. Bukan hanya pada pasal pemilihan presiden, melainkan maksud dan tujuan amandemen yang dilakukan di awal reformasi.

Apa maksud, tujuan, dan keinginannya? Amandemen kala itu dimaksudnya untuk memperkuat posisi lembaga perwakilan rakyat (DPR) dan membatasi kekuasaan presiden. Sebelum itu, sejarah panjang negeri ini diwarnai kepemimpinan yang pada titik tertentu menunjukkan pola ke arah diktatorianisme. Pada dua kepemimpinan sebelumnya.

Tetapi, kita ini ternyata tak jauh dari bangsa ‘hangat-hangat tahi ayam’. Hanya dalam rentang waktu tertentu, lembaga DPR memiliki kekuatan yang bisa mengimbangi eksekutif. Setelah itu, keduanya berselingkuh. Hingga kini. Mereka balikkan: kepentingan elit berada di atas kepentingan rakyat.

Baca Juga : Sikap Kami: Lampu Kuning Parpol

DPR kita sekarang kualitasnya hanya sedikit di atas era Orde Baru. Hanya sedikit. Sangat tipis. Tak ada lagi daya kritis terhadap eksekutif. Pola koalisi partai politik yang sedemikian gemuknya membuat DPR seperti kehilangan nalar. Hampir selalu membenarkan langkah pemerintah, bahkan ketika pemerintah nyata-nyata melakukan kesalahan. DPR seperti organisasi pemaklum.

Halaman :


Editor : Zulfirman