Stop Tragedi Jekulo

CUKUPLAH itu terjadi di Jekulo. Cukup juga itu jadi yang terakhir di Kudus. Jangan sampai menjalar ke kota/kabupaten lain di Tanah Air. Karena itu, keputusan mengizinkan pembelajaran tatap muka haruslah melalui pertimbangan yang matang.

Stop Tragedi Jekulo

CUKUPLAH itu terjadi di Jekulo. Cukup juga itu jadi yang terakhir di Kudus. Jangan sampai menjalar ke kota/kabupaten lain di Tanah Air. Karena itu, keputusan mengizinkan pembelajaran tatap muka haruslah melalui pertimbangan yang matang.

Yang terjadi di Jekulo itu sungguh menyesakkan kita. Empat orang guru di SMP 3, meninggal dunia akibat terpapar virus Covid-19. Itu terjadi dalam rentang waktu yang relatif amat singkat.

Harap dicatat, kondisi yang menyedihkan itu terjadi di saat sekolah sedang memberlakukan pengajaran jarak jauh (PJJ). Dengan sistem begitu saja, risiko tertular virus masih tinggi, apalagi jika sekolah tatap muka.

Baca Juga : Menangislah, Bunga!

Kenapa perlu kita merisaukan hal tersebut, karena persoalan wabah Covid-19 masih jauh dari tuntas di negeri kita. Bukannya menurun, dari data yang ada, penambahan angkanya justru kian meninggi. Kemarin, misalnya, terjadi pemecahan rekor baru penambahan dalam sehari, yakni mencapai 8 ribu.

Kita, bahkan hingga saat ini, belum menunjukkan langkah yang lugas dalam penanganan pandemi. Konyolnya, pada sebagian kita, pandemi malah dijadikan bagian dari alat politik. Kita seolah-olah tak tahu harus melangkah ke mana. Padahal, tak seperti sejumlah negara lain, kita belum memasuki apa yang disebut sebagai gelombang kedua itu.

Lalu, apakah kita akan mengorbankan guru-guru kita yang mulia, anak-anak kita yang jadi harapan masa depan bangsa ini? Itu yang akan terjadi jika kita kebablasan mengambil keputusan, membuka sekolah tatap muka.

Baca Juga : Sikap Kami: Puntung Rokok Naik Daun

Kita paham, pemerintah akan membuka di wilayah-wilayah yang relatif aman dari wabah. Tapi, siapa yang menjamin wilayah yang hijau itu akan selalu bertahan hijau? Apalagi, yang akan masuk kelas itu adalah anak-anak yang secara pemikiran belumlah matang menyikapi pandemi ini.

Halaman :


Editor : Ghiok Riswoto