Jejak langkah “Sang Persuator”, KH  Abdul Chalim ; Pahlawan Nasional dari Jawa Barat.

KH. Abdul Chalim (1898-1972 M), yang juga memiliki beberapa nama panggilan; Mas Dzulchalim, dan Mas Chalim. Di usianya yang masih sangat belia, beliau beberapa kali melakukan perjalanan (jalan kaki) dari kampung halamannya, Leuwimunding, Majalengka Jawa Barat, ke Surabaya.

Jejak langkah “Sang Persuator”, KH  Abdul Chalim ; Pahlawan Nasional dari Jawa Barat.
Rosihan Fahmi (Tukang Filsafat Keliling)

Jika “Sang Persuator” K.H. Abdul Chalim di usianya yang ke-15 sudah turut memikirkan dan bahkan melibatkan diri untuk kepentingan bangsa dan agama. Apakah hal tersebut terjadi semata-mata hanya karena situasi kondisi negeri? Boleh jadi ya! Hal tersebut terjadi pada sosok pahlawan nasional seperti Martha Christina Tiahahu, yang turut serta dalam perang Pattimura tahun 1817 dan meninggal diusia 17 tahun. 

Bung Tomo, di usia 17 menjadi anggota Gerakan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan dipercaya sebagai sekretaris Partai Indonesia Raya (Parindra). Dengan kepiawaiannnya berorasi, Bung Tomo berhasil membakar semangat juang pada perang 10 November 1945 di Surabaya. 

Sudah barang tentu masih banyak sederet nama-nama pahlawan nasional lainnya, yang di usia remajanya memang tergerakan oleh situasi zaman dan memilih untuk melibatkan diri untuk mengubah situasi zaman. 

Permasalahannya adalah apakah hanya karena situasi kondisi diluar diri saja, yang mampu membangun visi hidup? Jika demikian, pertanyaan lanjutannya adalah pada masa K.H. Abdul Chalim di usia nya yang ke-15, berapa jumlah bangsa Indonesia yang ada diseusia beliau? Pastinya banyak, namun yang peka dan memiliki keinginan atau visi hidup luhur sedikit. Begitupun bisa jadi pada masa masa perang Pattimura, atau perang 10 November 1945.

Dengan demikian, belajar dari para pahlawan remaja, seperti bercermin pada sosok pahlawan nasional K.H. Abdul Chalim situasi kondisi tidaklah selalu menjadi kata kunci. Namun kemampuan dan kemauan mengasah diri, kepekaan diri, hingga mampu melahirkan visi hidup yang luhur adalah suatu pilihan yang sangat pribadi. Bersedia mengenyampingkan kepentingan pribadi, dan mengutamakan kepentingan bangsa dan agama adalah justru sebagai sikap kunci untuk turut mengubah situasi zaman.

Syarat menjadi Pahlawan Nasional dimata negara memanglah harus mati. Namun kehidupan macam apa, jika diusia remaja isi kepala dan hati hanya dipenuhi oleh hasrat dan ambisi pemenuhan pribadi saja?, bisa jadi mati pun tak bermakna dan bergema. Menjadi pahlawan hari ini, bisa jadi adalah tidaklah bersikap bosan untuk menanam kebaikan yang benar demi kepentingan bangsa dan agama. 

Akhir kalam, sembari mengutip akhir nadzam/syair “Ahlal Wathan” karya “Sang Persuator” KH. Abdul Chalim


Editor : Ahmad Sayuti