Memilih Terus Jalani Hidup dengan Segala Kisahnya

ADA kisah mitos Yunani, saat penuh murka Zeus menghukum Sisyphus mendorong batu besar dari bawah gunung ke atas gunung. Dengan susah payah didorongnya batu itu ke atas, sesampainya di atas batu itu kembali menggelinding ke bawah. Sisyphus kembali mendorongnya ke atas lalu menggelinding kembali ke bawah.

Memilih Terus Jalani Hidup dengan Segala Kisahnya
Ilustrasi/Net

ADA kisah mitos Yunani, saat penuh murka Zeus menghukum Sisyphus mendorong batu besar dari bawah gunung ke atas gunung. Dengan susah payah didorongnya batu itu ke atas, sesampainya di atas batu itu kembali menggelinding ke bawah. Sisyphus kembali mendorongnya ke atas lalu menggelinding kembali ke bawah.

Tak terhitung berapa kali Sisyphus terus dengan sabar melakukannya. Hanya ada dua pilihan baginya: pilihan pertama, terus bersabar dan berusaha menikmati hukuman itu, dengan cara inilah dia terus hidup; pilihan kedua adalah bunuh diri mengakhiri hidup dan tugas hukuman akan selesai.

Hidup kita mungkin saja satu alur dengan nasib Sisyphus, yakni hidup penuh ujian dan derita. Pilihannya hanya dua juga, terus menjalani dengan sabar dan mengakhiri hidup atas nama membunuh derita.

Namun tahukah kita bahwa mati bunuh diri itu jauh lebih sakit ketimbang derita hidup? Tahukah bahwa mati karena depresi dan putus asa adalah kematian yang akan menyebabkan derita lebih panjang? Orang yang paham hakikat kehidupan dan yakin akan kehidupan kekal abadi di akhirat kelak pasti memilih tetap sabar menjalani derita. Pilihan terbaik ini akan mengantarkan pada penggapaian cinta dan kasih sayang Tuhan.

Kalau kita membaca kisah-kisah orang agung, manusia pilihan, kita akan menyimpulkan bahwa tak ada hidup tanpa derita, tanpa ujian, tanpa musibah. Datangnya ujian dan musibah ini bisa jadi sebagai hukuman, teguran, dan ujian naik kelas. Jalani dan nikmati, semua pasti memiliki hikmah. Atas keyakinan seperti inilah manusia pilihan seringkali tersenyum atas musibah, menikmati setiap ketaknyamanan hidup. Sudah bisakah kita seperti mereka?

Banyak manusia kini yang lebih memilih jalan pintas, memilih stress dan depresi dalam menyikapi masalah. Selanjutnya, kata para pakar ilmu jiwa, manusia kehilangan daya tahan tubuhnya, jatuh sakit dan mati.

Kata Yuval Noah Harari, orang mati karena stress dan depresi di zaman ini adalah jauh lebih banyak dibandingkan orang mati karena perang. Cukup mengerikan, bukan? Lalu apa solusinya? Apakah agama? Kalau iya, mengapa ada juga orang yang kelihatannya beragama namun juga stress dan matj bunuh diri? Apakah kesejahteraan ekonomi? Kalau iya, mengapa banyak juga orang kaya yang stress dan depresi lalu mati mengenaskan? Lantas apa?

Halaman :


Editor : Bsafaat