Opini: Seven Golden Rules

"We don’t hire smart people to tell them what to do. We hire smart people so they can tell us what to do." (Steve Jobs)

Opini: Seven Golden Rules
Profesor Dermawan Wibisono, Guru Besar SBM ITB

Pada SD di Inggris (primary school) ada seven golden rules yang ditanamkan kepada anak didik di sekolah yang ditempel di dinding kelas, auditorium, bahkan hingga ke dinding kamar mandi. 

Seven golden rules itu adalah: 1. Be polite (Lakukan segala hal dengan santun), 2.Show respect (Perlihatkan penghargaan kepada orang yang berhak menerimanya), 3. Say sorry when you need to (Minta maaf atas kekeliruan yang dilakukan), 4. Always be honest (Jujur dalam segala hal), 5. Don’t cover up the truth (Berdiri di atas kebenaran), 6. Be kind and thoughtful (Ramah dan bertenggang rasa), 7. Don’t hurt other people (Jangan lukai orang lain)

Pelanggaran terhadap seven golden rules yang dilakukan seorang anak, membawa konsekuensi dari ditulisnya  jenis pelanggaran tersebut pada buku harian sang anak yang berupa sad book face, pemanggilan orang tua ke sekolah, hingga anak dikeluarkan dari sekolah.

Saat masuk sekolah, orang tua sudah menyadari semua konsekuensi itu dan bertanggung jawab jika anaknya melakukan pelanggaran tersebut. Artinya, menerima tanpa syarat. Tanpa tanda tangan gentlemen agreement segala. Masuk kandang ayam berkotek, masuk kandang kambing mengembik, masuk sekolah, orang ikuti aturannya.

Hal seperti ini agaknya yang tidak terdapat di sekolah Indonesia sehingga terbawa kebiasaan buruk tersebut sampai dewasa. Seperti kita lihat, pasca-pemilu begitu riuh rendah pelanggaran-pelanggaran dilakukan. Bahkan dilakukan oleh orang dari kalangan terdidik dalam berbagai level dan status sosio-ekonomi yang cukup tinggi.  

Pelanggaran tersebut dimulai dari tingkat paling dasar yang harus dipahami anak SD di Inggris. Be Polite. Berbagai pihak mengeluarkan pernyataan yang jauh dari kata sopan, bahkan dengan verbal yang sangat merendahkan. Pelanggaran tingkat kedua pun tidak kalah banyaknya, tidak ada show respects terhadap pemegang otoritas kenegaraan dan pemerintahan.

Begitu jumawa setiap orang mengumbar verbalnya di medsos, spanduk jalanan, pres release, bahkan wawancara media masa. Seolah-olah mengatakan: ini dadaku, mana dadamu? Sadumuk bathuk, sanyari bumi, pecahing dada, wutahing ludira, seperti yang dikatakan Pak Dalang saat suluk pewayangan menjelang Perang Bharatayuda.

Halaman :


Editor : Ghiok Riswoto