Sikap Kami: Masih Adakah 'Keindonesiaan'?

IMBAUAN Presiden Joko Widodo soal komunikasi yang sejuk di media sosial, patut kita apresiasi. Tapi, imbauan saja tidak cukup. Jokowi sebagai kepala negara, kita anggap, perlu turun tangan langsung, agar kegaduhan tak menjadi-jadi.

Sikap Kami: Masih Adakah 'Keindonesiaan'?

Tetapi, dukungan kita  juga diiringi permintaan kepada Presiden Jokowi, agar keadilan hukum dalam perkara media sosial betul-betul ditegakkan. Yang kita rasakan, keadilan hukum itu belum sepenuhnya ada. Masih jauh panggang dari api. Kata orang, pisaunya hanya tajam kepada kelompok tertentu.

Soal hoaks, misalnya, tentu saja kita sepakat harus diberantas. Tapi, secara menyeluruh. Frontal. Yang ditindak bukan hanya hoaks yang mendiskreditkan pemerintah, melainkan juga yang menyampaikan kabar bohong tentang kelompok lain, katakanlah oposisi. Perlakuan hukumnya harus sama.

Sebagai contoh, misalnya, kasus Tasikmalaya menyangkut seorang pegiat medsos pendukung pemerintah, sampai saat ini nyaris tak ditangani. Sudah berbulan-bulan. Alasannya seperti tak masuk akal. Sementara aparat hukum demikian cepat memproses, umpamanya, pengaduan orang yang bermimpi tentang nabinya.

Baca Juga : Adios, El Pibe de Oro

Kesetaraan hukum itu adalah keniscayaan dalam menegakkan demokrasi di Indonesia tercinta ini. Jika Presiden Jokowi ingin negeri tak gaduh karena media sosial, maka hemat kita, yang pertama dilakukan adalah menginstruksikan penegak hukum menunjukkan keadilan dalam menangani perkara-perkara terkait media sosial. Kalau tidak, permintaan Jokowi itu hanya akan jadi mimpi di siang bolong saja. (*)
 

Halaman :


Editor : Zulfirman