Menyoal Dualisme SOKSI

Akhir pekan ini menjadi momen penting bagi keluarga besar Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) Jawa Barat. Salah satu organisasi kemasyarakatan tertua di Tanah Air ini bakal melangsungkan musyawarah daerah (Musda) yang diawali dengan rapat pimpinan daerah (Rapimda).

Menyoal Dualisme SOKSI

Penetapan ini ditindaklanjuti dengan serah terima jabatan dari Ketua Umum SOKSI 2005-2010 Syamsul Mu’arif kepada Ade Komarudin sebagai Ketua Umum SOKSI 2010-2015 pada 2  Juni  2010. Serah terima meliputi seluruh panji-panji organisasi SOKSI, perangkat, serta inventaris atau harta kekayaan bergerak maupun tidak bergerak milik  SOKSI. Sejak itulah babak dualisme dimulai. Babak yang berlanjut hingga hari ini.

Dalam perkembangannya, Ade Komarudin kembali terpilih menjadi nakhoda SOKSI pada Munas X/2015. Aspek kesehatan Ade Komarudin kemudian mengantarkan Bobby Suhardiman, Sekretaris Dewan Pembina SOKSI, menjadi Plt. Ketua Umum SOKSI. Bobby kemudian mengantarkan berlangsungnya Munas XI/2020 yang memilih Ahmadi Noor sebagai Ketua Umum SOKSI masa bakti 2020-2025. Adapun Bobby Suhardiman didapuk menjadi Ketua Dewan Pembina. Di kudu berbeda, Ali Wongso resmi menjadi ketua umum setelah terpilih dalam Munas X/2017.

Jalan historis di atas cukup bagi kita melihat siapa pewaris sah SOKSI. Estafet kepemimpinan menjadi penanda penting untuk menentukan pewaris organisasi yang semula dibentuk untuk mewadahi karyawan perusahan negara tersebut. Bertahan bersama Ketua Umum Suhardiman hingga 1997, estafet kepemimpinan beralih kepada Oetojo Oesman hingga 2005. Kemudian Syamsul Mu’arif hingga 2010. Ade Komarudin hingga 2020, lalu hari ini Ahmadi Noor Supit.

Baca Juga : Sikap Kami: Persekongkolan Busuk Tiga Periode

Jalan historis juga menunjukkan di mana persimpangan sejarah hadir. Jika 2010 menjadi jalan cagak SOKSI, maka berikutnya adalah kepada siapa Ketua Umum SOKSI 2005-2010 menyerahkan tongkat komando. Jawabannya jelas: Ade Komarudin. Itulah fakta sejarah yang tidak bisa dihapus dari catatan. Jika kemudian Ali Wongso menganggap sebagai keberlanjutan SOKSI, maka ada missing link yang memutus narasi sejarah SOKSI.

Bagaimana dengan sisi hukum? Ini menjadi persoalan berbeda. Pemicunya adalah munculnya pengesahan Perkumpulan SOKSI melalui surat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan No. AHU-0033252.AH.01.7.Tahun 2016 tanggal 17 Maret 2016 yang menjawab permohonan Ali Wongso. Dilihat dari bentuknya, perkumpulan tentu saja berbeda dengan SOKSI sebagai organisasi kemasyarakatan sebagaimana Akte Nomor 06  Tanggal 28 Maret 2012 Notaris  Amriyati A Supriyadi dan Akte Nomor 43 Tanggal 18 Maret 2016 Notaris Harra Mieltuani Lubis.

Drama belum berakhir. Buntut terbitnya pengesahan Kementerian Hukum dan HAM adalah keluarnya Keputusan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia tertanggal 3 Desember 2019 Nomor 220/8146/Polpum tentang Pencabutan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) SOKSI yang ditujukan kepada Ketua Umum SOKSI Ade Komarudin. Surat ini yang kemudian mendapat gugatan Bobby Suhardiman sebagai Plt Ketua Umum SOKSI kala itu.

Hasilnya, Majelis Hakim PTUN Jakarta memutus perkara dengan menyatakan batal Keputusan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia tertanggal 3 Desember 2019 Nomor 220/8146/Polpum tentang Pencabutan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) SOKSI. Dalam hal ini, Majelis Hakim PTUN telah mengabulkan dengan seluruhnya materi pokok gugatan yang diajukan Bobby Suhardiman kepada Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri RI. Dengan demikian, pencabutan SKT dicabut dan Ade Komarudin secara de facto dan de jure sebagai Ketua Umum SOKSI.


Editor : Ghiok Riswoto