Dengan Kain Gedogan, Sunari Menenun Harapan

Kain tenun gedogan di Kabupaten Indramayu menghadapi problem klasik. Laju zaman membuat eksistensinya terusik.

Dengan Kain Gedogan, Sunari Menenun Harapan
INILAH, Cirebon - Kain tenun gedogan di Kabupaten Indramayu menghadapi problem klasik. Laju zaman membuat eksistensinya terusik.
 
Sunari (59), pada satu waktu mengurai benang-benang dari tangannya ke atas sebuah mesin tenun di halaman rumahnya di Desa Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu. Melewati serangkaian proses mekanik sederhana, benang-benang itu menyatu dan bertransformasi sebagai sehelai kain.
 
Sunari melakoni aktivitasnya menenun kain sejak kecil. Dia tak ingat persis di usia berapa dia mulai menarikan benang-benang di sela jari jemarinya di atas alat tenun kayu itu. Namun, keahlian menenun Sunari diperolehnya dari orang tua.
 
Hasil kerja Sunari dikenal dengan sebutan kain tenun gedogan. Nama gedogan itu konon berasal dari bunyi yang ditimbulkan ketika satu kayu membentur kayu lain dalam proses penggabungan benang sebelum menjadi kain. Dog..dog.. kira-kira seperti itulah bunyinya.
 
Sejak lama, tenun gedogan dikenal sebagai kerajinan khas asal Kecamatan Juntinyuat. Pernah mengalami era keemasan pada sekitar 1960 di Desa Juntikebon, nyaris setiap rumah memproduksi tenun gedong.
 
"Dulu setiap rumah selalu ada yang menenun. Anak-anak rata-rata diajarkan orang tuanya menenun," ungkap Sunari.
 
Secara umum, corak dan warna tenun gedogan beragam. Pada masa lampau, motif kain tenun disesuaikan kegunaannya masing-masing, seperti motif Babaran untuk pemakaian sehari-hari; atau motif Kluwungan yang digunakan dalam acara tradisi desa; atau motif Suwuk digunakan khusus ibu rumah tangga untuk menggendong bayi mereka.
 
Kain tenun gedogan dahulu lebih banyak dimanfaatkan untuk membawa bakul, khususnya saat hajatan. Kain ini pun banyak digunakan pedagang dan petani.
 
Namun, seiring waktu, era keemasan kain tenun gedogan meluntur. Kini, di ambang kepunahan, penggunaan kain tenun gedogan pun tak lebih dari sekedar cinderamata. Ketiadaan regenerasi menjadi salah satu sebab.
 
Saat ini, hanya tersisa sekitar empat perajin kain tenun gedogan dan seluruhnya telah berusia lanjut. Sunari merupakan salah satu dari empat perajin yang masih berusaha bertahan menenun kain gedogan.
 
Aktivitas menenunnya sekarang hanya terbatas berdasarkan pesanan atau sekedar mengisi waktu luang. Setiap satu helai kain, Sunari membutuhkan waktu sedikitnya dua hari.
 
"Saya jual sekitar Rp200 ribu/helai kain. Atau tergantung motif dan warna yang dipesan pembeli," cetusnya.
 
Sunari tak menampik cemas akan eksistensi kain tenun gedogan di masa depan. Tak ada generasi muda yang memiliki keinginan bahkan tertarik menenun kain gedogan.
 
Meski di bawah ancaman kepunahan, Sunari memastikan akan terus menenun kain gedogan. Impiannya tak lebih dari menjaga warisan budaya desanya.
 
"Tapi, semoga ada generasi baru yang meneruskan tenunan ini," harapnya.


Editor : inilahkoran