Sikap Kami: Bersuka di Atas Derita

BANJIR, di manapun terjadi, selalu membuat kita berduka. Tapi, kini banjir juga menyulut nelangsa. Makin banyak yang “bersuka” saat salah satu wilayah diterjang air berlebihan itu.

Sikap Kami: Bersuka di Atas Derita

BANJIR, di manapun terjadi, selalu membuat kita berduka. Tapi, kini banjir juga menyulut nelangsa. Makin banyak yang “bersuka” saat salah satu wilayah diterjang air berlebihan itu.

Itulah bukti bahwa sebagian warga kita sudah sakit jiwa. Tak lagi punya empati dan nurani yang dititipkan Yang Maha Kuasa. Tak lagi merasa bahwa suatu ketika, banjir –atau bencana dalam bentuk lain—juga bisa melanda wilayah lain.

Tengoklah banjir yang melanda Semarang, Pekalongan, Pati, Klaten, atau sejumlah wilayah di Jawa Tengah. Yang terjadi adalah mencari siapa yang salah; bukan apa yang salah. Yang muncul adalah mengumbar ketidaksukaan –bisa juga dibaca kebencia, bukan menunjukkan empati.

Baca Juga : Sikap Kami: Kompresor

Apa yang terjadi dalam diskursus soal banjir Jawa Tengah tidak berdiri sendiri. Dia buah dari sebab-akibat. Hal serupa juga terjadi saat DKI Jakarta dilanda banjir. Yang jadi bahan serangan adalah Anies Baswedan, sebagaimana juga Ganjar Pranowo di Jawa Tengah.

Padahal, serangan-serangan semacam itu, tak mengubah suasana. Tak membuat korban banjir lebih legawa. Hanya memunculkan keriuhan di ruang terbuka.

Saat sebagian wilayah Jawa Tengah dilanda banjir, yang muncul misalnya pertanyaan di mana buzzer berada? Kenapa tidak berkomentar? Dan hal-hal semacam itu.

Baca Juga : Sikap Kami: Tom Moore

Buzzer? Itulah orang-orang sakit jiwa itu. Para pendengung itulah yang tanpa empati itu. Bisanya hanya menyalahkan (habis-habisan) dan membela (habis-habisan pula). Dengan gelap mata. Apalagi, jika itu adalah buzzer-buzzer bayaran. BuzzeRp orang bilang. Nuraninya hilang hanya karena selembar-dua rupiah.

Halaman :


Editor : Zulfirman