Senjakala Komoditas Alam dan Sabda Energi Bersih

Wajah neraca perdagangan bulan April lalu mengingatkan kembali ketergantungan Indonesia atas suplai alam sulit ditampik. Migas selalu menopang struktur belanja negara (APBN). Sebanyak 20 persen lebih dibuat sanggahan biaya pembangunan.

Senjakala Komoditas Alam dan Sabda Energi Bersih
Ilustrasi (Net)

Wajah neraca perdagangan bulan April lalu mengingatkan kembali ketergantungan Indonesia atas suplai alam sulit ditampik. Migas selalu menopang struktur belanja negara (APBN). Sebanyak 20 persen lebih dibuat sanggahan biaya pembangunan.

Lifting migas selalu diperhitungkan dalam asumsi dasar kelola anggaran. Meski terseok-seok mengikuti gejolak harga minyak global, penerimaan migas sejatinya terbilang melejit. 

Setahun lalu, pemasukan migas menembus Rp164 triliun. Bahkan diklasifikasikan sebagai sektor penyumbang PNBP terbesar. Tentu, ini berkat tangan dingin Pemerintah. Kendati, terbantu dengan harga global yang sempat rebound setelah anjlok USD27 per barel di awal tahun 2016. Titik terparah sepanjang 13 tahun terakhir. 

Pemerintah sadar menaruh migas sebagai komoditas strategis. Seiring meningkatnya konsumsi, 1,4 juta barel oil per day (bopd), Indonesia tak lagi menyandang net oil exportir. Pamit teratur dalam anggota OPEC.

Apakah ini kemunduran? Sebuah keniscayaan! Impor bukan hal haram. Penemuan minyak belum tuntas. Demand atas demografi besar tak kenal batas. Asal garis keputusan bisa selaras. Mampu menyerap harga di pasar internasional. 

Gerak sigap lain sudah dilakukan. Kebijakan hulu dibenahi. Antisipasi atas menipisnya cadangan migas. Sistem fiskal baru (Gross Split) hadir. Membenahi ketidakjelasan aturan lama (Cost Recovery) yang berada di titik nadir. 

Sistem lama merongrong keuangan negara. Bayangkan, tahun 2016 kantong negara menipis. Penerimaannya lebih seret. Pengeluaran membengkak sampai USD11,5 miliar. Senasib dengan setahun sebelumnya. Fiskal lama membentuk rezim boros. Minim efisiensi.  

Halaman :


Editor : suroprapanca