The Alquran Thief

BANYAK orang bijak mengatakan mencuri buku bukanlah perbuatan yang layak dipidanakan. Sebab, sang pencuri pastilah melakukan aksinya untuk kepentingan ilmu pengetahuannya.

The Alquran Thief

BANYAK orang bijak mengatakan mencuri buku bukanlah perbuatan yang layak dipidanakan. Sebab, sang pencuri pastilah melakukan aksinya untuk kepentingan ilmu pengetahuannya.

Mungkin itu sebabnya, perpustakaan-perpustakaan zaman dulu, terutama perpustakaan sekolah, rada permisif terhadap kehilangan buku. Sebab, mereka paham, bisa jadi, “pencuri” buku adalah orang yang tak punya kemampuan membeli buku.

Novel The Book Thief, karya Markus Zusak, menggambatkan bagaimana Lisa Meminger, mencuri buku bahkan sejak ia masih buta huruf. Dia yakin, buku adalah barang yang sangat penting. Istri wali kota, salah seorang korban pencurian, membiarkan buku di perpustakaan rumahnya karena dia yakin buku itu sungguh penting bagi pencurinya.

Baca Juga : Sikap Kami: 77 Tahun Jawa Barat

Jika kita memandang dari sudut pandang seperti itu, maka pencurian Alquran di Masjid Raya Al-Jabbar, semestinya tak perlu terlalu dipersoalkan. Apalagi membesar-besarkannya, menyatakan ribuan Alquran telah dicuri.

Pertama, faktanya hanya 231 dari 5 ribu Alquran yang disediakan di Masjid Al Jabbar, dinyatakan hilang. Kehilangan itu terjadi sejak akhir 2022 lalu. Bisa jadi, hanya sekitar 50 Alquran yang hilang dalam sebulan, satu sampai dua sehari.

Kedua, dengan cara pandang seperti istri wali kota di The Book Thief, kita bisa saja mengikhlaskan kehilangan itu dengan landasan Alquran betul-betul diambil orang yang sangat membutuhkan. Siapa tahu, memang ada orang-orang yang tak punya kemampuan membeli kitab Alquran.

Baca Juga : Sikap Kami: 'Surga' Kita, Rumah Kita

Dalam konteks seperti itu, persoalan kehilangan Alquran itu sebenarnya tak perlu terlalu dibesar-besarkan. Malah, sebaiknya diikhlaskan saja. Sekali lagi, berpandangan positi bahwa yang mencuri betul-betul menginginkan Alquran.

Halaman :


Editor : Zulfirman