Adios, El Pibe de Oro

MINGGU, 17 Juli 1994. Stadion Rose Bowl di Pasadena, kawasan di pinggir pantai California, Amerika Serikat. Cukup panas saat itu. Mungkin itu sebabnya, banyak pria yang melepas kaosnya. Bagi kami, itu tanggal yang penting. Itu pertama kali kami meliput final Piala Dunia. Karena itu, meski ada yang menawar tiket sampai US$500, kami tak lepas.

Adios, El Pibe de Oro

Belajar dari Maradona adalah belajar sebagai  bintang. Dia menjadi tokoh paling menonjol Argentina setelah Evita Peron. Dia bisa menyatukan Argentina hanya lewat gocekan kaki dan gol-golnya. Dia mampu menghadirkan kebanggaan yang bahkan hingga kini masih dirasakan negara Amerika Selatan itu.

Tapi, belajar dari Maradona adalah juga belajar bagaimana menjaga bintang. Maradona tak kesulitan meraihnya, tapi tak mampu menjaganya. Candu, doping, kelebihan berat badan, adalah yang dihadapinya di akhir karier.

Maradona tetaplah Maradona. Dia pemain luar biasa hebat, bukan Tuhan sebagaimana dijuluki penggemarnya. Dia Maradona, manusia yang memiliki kelebihan sekaligus punya kekurangan. Selamat jalan Diego. (*)

Baca Juga : Lupakan HRS, Fokus Papua

 

 

Halaman :


Editor : Ghiok Riswoto